Selasa, 7 Oktober 2025

Sinemaria, Ruang untuk Merayakan Film dan Membangun Ruang Diskusi Lewat Layar Alternatif

Sinemaria merupakan komunitas yang bergerak pada pemutaran film alternatif di Solo yang berdiri sejak tahun 2023

Instagram @ber.sinemaria
KOMUNITAS SINEMARIA - Kegiatan komunitas Sinemaria, komunitas yang bergerak pada pemutaran film alternatif di Solo yang berdiri sejak tahun 2023. 

TRIBUNNEWS.COM - Berawal dari sebuah kegelisahan dan keresahan  pribadi mengenai sepinya ruang pemutaran film di Solo, Ardhika Surya (28), mendirikan komunitas bernama Sinemaria.

Ia mengaku merasakan vakumnya kegiatan pemutaran dan diskusi film di kota Solo, meskipun sebelumnya pernah ada dan tumbuh subur.

"Di Solo pemutaran film itu semakin sedikit, lama lama ngga ada sama sekali, aku merasa ngga ada tempatnya, terus aku ngajak temen-temen, ternyata mereka juga memiliki kegelisahan yang sama, terus mempunyai visi yang lebih," ujar Ardhika, Rabu (20/8/2025).

Bersama dua rekannya, Angga dan Ratna, ia membentuk Sinemaria pada  akhir tahun 2023.

Sinemaria sendiri berasal dari kata sinema, yang dipilih dengan alasan mudah disebut dan diingat, sementara itu, ria berarti kegembiraan.

Nama Sinemaria dipakai dengan harapan agar orang-orang yang menonton film di Sinemaria perasaan hatinya turut gembira, apapun film yang diputarnya.

Awalnya, mereka hanya berekspektasi membuat acara tiga bulan sekali.

Namun, sambutan hangat dan banyaknya ajakan kolaborasi membuat kegiatan mereka menjadi lebih sering, hingga tim inti pun berkembang dari tiga personel menjadi enam.

Sinemaria memposisikan diri sebagai sebuah layar alternatif.

Mereka tidak bersaing dengan bioskop komersial yang telah menjadi tempat bagi film sebagai hiburan.

salah satu founder Sinemaria
SINEMARIA - Ardhika Surya (28), salah satu founder Sinemaria menjelaskan awal didirikannya Sinemaria, Rabu (20/08/2025) di Parang Coffe, Laweyan Surakarta.

Sebaliknya, Sinemaria berfokus pada pemutaran film-film alternatif, khususnya film pendek yang jarang mendapat layar namun memiliki pesan dan isu yang relevan.

Baca juga: Merajut Relasi, Menambah Wawasan: Solo Book Party Hadirkan Komunitas Baca Inklusif

Menurut Ardhika, apresiasi tertinggi bagi sebuah film adalah ketika karya tersebut berhasil memantik diskusi mengenai isu di sekelilingnya atau pengalaman pribadi penonton dan bukan sekadar perbincangan teknis.

Hal tersebut mereka fasilitasi dengan diadakannya sesi diskusi setiap setelah pemutaran film.

Kurasi film yang diputar pun sangat terprogram dan bersifat responsif.

Misalnya ketika sebuah galeri rekanan mengadakan pameran tentang makanan, Sinemaria akan merespon dengan program film dengan tema serupa.

Salah satu program andalan Sinemaria adalah "Sinemaria Spesial". 

Program ini dirancang khusus untuk menyajikan pengalaman menonton yang baru dan tidak biasa. 

Contohnya adalah program yang memadukan tur museum, nonton film, diskusi pengalaman personal, hingga sesi mindful eating.

Dalam acara tersebut, seorang tenaga kesehatan berusia 50-an tahun mengaku baru pertama kali benar-benar bisa merasakan nikmatnya makan, karena selama ini ia selalu makan sambil bekerja tanpa sempat menikmati rasanya. 

Momen haru seperti inilah yang menjadi bukti bahwa Sinemaria berhasil menciptakan ruang yang lebih dari sekadar pemutaran film.

Di program lain, mereka memutar film tentang kesehatan mental dan mengaitkannya dengan tema pameran di museum, yang mengusung tentang ambisi dan tekad. 

Diskusi setelahnya tidak hanya membahas film, tetapi juga tentang cara menyembuhkan luka-luka masa lalu, yang dipandu langsung sutradara film yang ditayangkan tersebut.

Seluruh kegiatan Sinemaria didanai melalui kerja sama dengan kolaborator atau sponsor. 

Jika ada program berbayar, dana tersebut sepenuhnya digunakan untuk biaya operasional, bukan untuk keuntungan pribadi.

Bagi mereka, tantangan terbesar bukanlah soal internal, melainkan bagaimana terus belajar dan membaca zaman agar program-program mereka tetap relevan dengan penonton yang terus berkembang.

Ke depan, Sinemaria memiliki mimpi besar, yaitu membawa film alternatif bisa setara dengan musik dalam hal aksesibilitas.

"Gimana caranya film ini bisa satu level dengan musik," ujar Ardhika.

Ia membayangkan suatu saat nanti bisa berkolaborasi dengan festival musik, di mana Sinemaria memiliki panggung sendiri untuk memutar film dan menggelar diskusi, sehingga dapat menjadikan sinema atau film sebagai perayaan yang lebih masif dan mudah dijangkau.

Andhika juga berharap bahwa agar Sinemaria selalu menjadi komunitas yang sehat, yang tidak ditunggangi oleh pihak manapun dan terus beradaptasi dengan zaman.

“Harapan utamanya sederhana, agar Sinemaria selalu menjadi komunitas yang sehat dan terus beradaptasi dengan zaman,” tegas Ardhika.

 

(mg/Nur Hidayah)
Penulis merupakan peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved