Miris! Efisiensi Anggaran Buat Pekerja Hotel Jogja Digaji di Bawah UMR: Hidup dari Jatah Makan
Efisiensi anggaran pemerintah buat pekerja hotel di Jogja dan NTT sulit hidup, jam kerja dipotong, penghasilan di bawah UMR.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Tita (25), seorang pekerja hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tengah menghadapi masa sulit akibat efek kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Industri perhotelan yang sepi membuat jam kerjanya berkurang drastis, dari 26 hari menjadi hanya 18 hari dalam sebulan.
Akibatnya, penghasilan yang didapat Tita jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Yogya yang sudah ditetapkan sebesar Rp Rp 2.655.041 pada 2025.
Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Tita harus mengandalkan jatah makanan yang diberikan oleh pihak hotel.
"Lumayan menghemat," ujarnya lirih pada Kamis (15/5/2025).
Baca juga: 5.000 Karyawan Hotel dan Restoran di Yogyakarta Dirumahkan Gara-gara Efisiensi Anggaran Pemerintah
Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan Presiden Prabowo Subianto berimbas pada menurunnya okupansi hotel di Yogyakarta.
Tidak hanya berdampak pada dirinya, kondisi lesu ini juga dirasakan oleh banyak pekerja di sektor pariwisata dan perhotelan.
Sebagai pekerja kontrak dengan masa kontrak tiga bulan, Tita menerima gaji berdasarkan kehadiran kerja.
Dengan pengurangan jam kerja, otomatis penghasilannya juga berkurang drastis.
“Di bawah UMR,” ujarnya singkat.
Melansir laman resmi Pemprov DIY, untuk gaji UMR Jogja 2025 secara keseluruhan, UMR Kota Yogyakarta adalah yang tertinggi di provinsi ini dengan besaran Rp 2.655.041.

Biasanya, pihak hotel di Yogyakarta banyak mendapatkan kunjungan atau event yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Namun, sejak efisiensi anggaran diberlakukan, kegiatan tersebut berkurang drastis sehingga industri hotel dan pariwisata menjadi lesu.
Di tengah kesulitan hidup ini, Tita berharap pemerintah segera membuka blokir anggaran agar dunia perhotelan bisa kembali membaik.
"Meskipun nggak sepenuhnya, tetapi itu cukup membantu bagi kami anak perhotelan," tuturnya penuh harap.
Baca juga: Bantah Pertumbuhan Ekonomi Melambat Gegara Efisiensi, Mensesneg Singgung Perang India-Pakistan
Efisiensi Anggaran Pemerintah Bikin Okupansi Hotel di Yogyakarta Turun Drastis
Dampak efisiensi anggaran pemerintah mulai terasa nyata pada bisnis hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Rata-rata okupansi hotel di wilayah ini kini hanya berkisar antara 20 hingga 40 persen pada hari kerja, dan 50 hingga 60 persen saat akhir pekan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan kondisi ini membuat industri perhotelan kesulitan bernapas sejak adanya Instruksi Presiden (Inpres) tentang efisiensi anggaran.
“Sejak Inpres dikeluarkan, kami benar-benar tersengal-sengal mencari oksigen. Okupansi hotel hanya 20-40 persen di weekday, dan naik sedikit di akhir pekan,” kata Deddy, Selasa (13/5/2025).
Baca juga: 5.000 Karyawan Hotel dan Restoran di Yogyakarta Dirumahkan Gara-gara Efisiensi Anggaran Pemerintah
Menurut Deddy, seluruh jenis akomodasi di Yogyakarta terdampak kebijakan efisiensi ini, namun hotel bintang tiga dan lima yang paling merasakan dampaknya.
Penurunan okupansi ini bermula sejak Presiden Prabowo Subianto menetapkan efisiensi anggaran untuk kementerian dan lembaga pada 2025.
Kebijakan ini menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan membuat orang enggan bepergian, sehingga langsung berimbas ke bisnis hotel.
Meskipun begitu, ada sedikit harapan dari libur Waisak 2025 yang mencatat okupansi hotel di DIY mencapai 75 persen, meskipun tetap turun 10-20 persen dibanding Waisak tahun sebelumnya.
“Angka ini bisa menjadi oksigen bagi kami untuk bertahan,” ujarnya.
Namun, upaya para pelaku usaha hotel di DIY untuk meminta kelonggaran retribusi dan potongan biaya listrik serta air belum mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kota Yogyakarta.
Deddy menyatakan PHRI DIY telah mengajukan permintaan tersebut, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan.
“Karena tidak ada jawaban, kami terpaksa melakukan efisiensi energi dan pengurangan sumber daya manusia,” tambah Deddy.
Lebih dari 5.000 pekerja di 458 anggota hotel dan restoran di DIY harus dirumahkan akibat tekanan ekonomi ini.
Deddy pun berharap pemerintah dapat memberi empati dan perhatian khusus kepada sektor perhotelan yang sangat terdampak ini agar industri bisa bertahan di tengah tekanan efisiensi anggaran.
Dampak Efisiensi Anggaran pada Sektor Perhotelan Menurut Pengamat Ekonomi
Situasi serupa juga dirasakan sektor perhotelan dan restoran di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pengamat ekonomi Thomas Ola Langoday mengungkapkan kegelisahannya terkait dampak kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat dan daerah yang sangat terasa di sana.
“Hotel dan resto rumah makan di Kupang dan NTT telah mengalami masa lesu sejak diberlakukannya efisiensi anggaran oleh pemerintah. Kebijakan efisiensi perjalanan dinas, efisiensi rapat, seminar, bimtek, hingga diklat, telah membawa dampak cukup luas dan sistemik,” ujarnya.
Thomas menjelaskan, masalah utama adalah ketergantungan ekonomi NTT pada belanja pemerintah daerah dan pusat.
Ketika anggaran untuk kegiatan seperti rapat di hotel, konsumsi makan-minum, dan sewa ruang pertemuan dikurangi atau dihentikan, otomatis aktivitas bisnis di hotel dan restoran ikut menurun tajam.
“Efisiensi anggaran telah memutus banyak rantai pasok atau supply chain dalam dunia perhotelan dan makanan,” tambahnya.
Baca juga: Maksimalkan Efisiensi Operasional: Epson Luncurkan Printer Dye Sublimation Berkecepatan Tinggi
Lebih jauh, dampak tersebut menjalar ke petani, nelayan, dan pelaku usaha lain yang menjadi pemasok bahan baku. Karena sepinya permintaan dari hotel dan restoran, produk hasil panen dan tangkapan nelayan menurun, menyebabkan berkurangnya pendapatan di berbagai sektor.
Kondisi ini juga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga pendapatan rumah tangga dan daya beli masyarakat ikut menurun. Thomas mengkritik kebijakan efisiensi anggaran yang tidak mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh.
“Efisiensi boleh, tapi harus tepat sasaran. Jangan sampai menyengsarakan rakyat yang bergantung pada sektor riil,” ujarnya.
Ia menyarankan agar efisiensi anggaran difokuskan pada internal birokrasi, bukan pada aktivitas yang berdampak langsung pada perekonomian masyarakat.
Artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Kelesuan Dunia Usaha di NTT, Pengamat Ekonomi: Efisiensi Anggaran Membunuh Rantai Ekonomi Lokal,
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Cerita Pekerja Kasual Hotel di DIY Alami Pengurangan Jam Kerja, Gaji Berkurang hingga 30 Persen,
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.