Wawancara Eksklusif
Wawancara Polwan Ahli Forensik: Sebagian Besar Pelaku Mutilasi Itu Orang Dekat (2-Habis)
Saya memprofil ini pelaku orang dikenal. Cara memotongnya pun tahu seperti motong ayam.
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Berkaca pada pengalaman Kabiddokkes Polda Jateng Dr Sumi Hastry dalam mengungkap banyak kasus besar di Indonesia bertumpu pada keahlian forensik, memberi pencerahan kepada pembaca tentang seluk beluk mengungkap pelaku kejahatan.
Satu-satunya Polwan di Asia yang menyandang gelar DR Forensik ini menjadi nara sumber dalam wawancara eksklusif Tribun Jateng yang dikemas dalam program Tribun Topic.
Berikut ini lanjutan kutipan wawancaranya.
Apa beda visum dan autopsi?
Visum sementara gunanya untuk mencari orang-orang yang diduga pelaku ada di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP). Itu memang diperiksa dari identitas korban, cara, dan sebab kematian.
Kalau sudah dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium, ternyata ada perlakuan dia diracun terlebih dahulu atau dipukul lalu digantung agar seolah-olah gantung diri. Kami menunggu hasil laboratorium. Hasilnya seminggu dan bisa dituangkan ke visum baru bisa ngomong waktu, cara, mekanisme, dan sebab kematian.
Hasil visum bisa untuk mempengaruhi hakim nanti dalam menjatuhkan hukuman kepada tersangka. Kami berpikirnya, visum dan saya dipanggil ke pengadilan memberi keterangan ahli, bagaimana bisa mempengaruhi hakim menjatuhkan hukuman.
Baca juga: Wawancara Polwan Ahli Forensik: Jenazah Itu Bisa Berbicara
Ada istilah Kejahatan Tak Ada yang Sempurna, bisa dijelaskan?
Kami juga belajar memprofil pelaku dari luka-luka ini (korban). Atau di luar negeri ada istilah psikiater forensik. Hal ini untuk mengetahui kejiwaan atau profil pelaku.
Misal kok membunuhnya hanya diserang wajah saja, mungkin benci sekali dengan korban.
Mungkin lukanya hanya di sekitar tangan atau ada tanda-tanda perlawanan. Mungkin korban sempat melakukan perlawanan dan pelaku mungkin tidak sengaja melakukan pembunuhan.
Jadi untuk mengetahui korban meninggal harus sudah tahu identitas atau kalau belum dikenal harus dilakukan identifikasi. Makanya kami bekerjasama dengan tim Inafis untuk mengetahui sidik jari.
Tapi sekarang pelaku kejahatan semakin pintar. Dia menghilangkan tangan korban untuk hilangkan jejak sidik jari. Sebab ada tiga identifikasi primer yaitu sidik jari, gigi, dan DNA. Sebab gigi setiap orang berbeda, kalau DNA kami mencari pembanding yaitu keluarga atau kerabat.
Seperti halnya di Australia pelaku bisa ketangkap karena sudah sample DNA. Jadi ketahuan oh ini benar orang Australia. Kalau belum berarti bukan warga negara Australia. Jadi di sana semua bayi lahir sudah diambil sample DNA-nya. Kalau di Indonesia baru sidik jari dan gigi.
Berapa biaya test DNA?
Tes DNA itu mahal. Sekarang untuk tes satu DNA mencapai Rp 8 juta.
Selain identifikasi primer adakah cara lain?
Kalau tidak bisa identifikasi primer, kami menggunakan identifikasi sekunder misal dari ciri khas tubuh yakni pasang tato, tindik, bekas operasi, posturnya, tanda lahir, tahi lalat. Jadi kalau ada jenazah tidak dikenal jangan diapa-apain dulu kami periksa dulu lengkap.
Bagaimana Anda bisa ungkap kasus mutilasi dipisah dalam dua kardus di bus berbeda?
Saya memprofil ini pelaku orang dikenal. Cara memotongnya pun tahu seperti motong ayam. Ternyata pelakunya memang tukang potong ayam yaitu istri kedua. Sebagian besar pelaku mutilasi itu orang terdekat.
Dalam melakukan identifikasi ada tim?
Saya melakukan dengan tim. Ada tim asisten, tim perawat, bahkan gabungan tim Labfor untuk mengambil sampel darah, jaringan tubuhnya. Harus ke TKP, dan saya dokter forensik yang sering ke TKP sama tim inafis.
Bagaimana identifikasi mayat di air?
Kalau misal mayat di perairan sidik jari kalau masih ada. Kalau sudah ngembang susah. Paling dari gigi dan foto. Nanti kami cocokkan dan foto. Mungkin ada masyarakat yang kehilangan dan punya foto kami cocokkan.
Ambil DNA keluarganya dicocokkan dengan jenazah. Cek data gigi di media sosial. Saat identifikasi korban kapal tenggelam dan pesawat jatuh, kami ambil datanya dari Medsos ketika masih hidup. Mereka kan sering selfie sebelum berangkat.
Apa saja kasus yang menguras waktu dan pikiran?
Salah satunya ya kasus Subang ini. Tugas saya sudah selesai tinggal teman-teman penyidik di Jabar bekerja dengan keras. Saya yakin mereka bekerja dengan baik dan keras biar terungkap pelakunya.
Pernah mengalami kesulitan ungkap identitas?
Ya pernah sih. Kalau hanya berupa body part (bagian tubuh korban). Hanya bagian tubuh tertentu dan sudah busuk. Tapi akhirnya teridentifikasi juga. Karena data antemortemnya ada.
Atau data antemortem kami lengkap nih ternyata data postmortem tidak ada tapi bisa teridentifikasi contoh Adam Air, kapal di Danau Toba hilang. Itu data antemortemnya ada tapi jenazahnya tidak ada. Atau ada juga data postmortem lengkap, tapi antemortemnya susah kayak di Aceh.
Bagaimana analisa forensik korban dibuang?
Bisa kami periksa. Makanya kami periksa luar dan dalam dari saluran nafas atas sampai bawah kalau dia meninggal dulu. Misal dibuang atau dibakar kami bisa lihat adakah bekas airnya. Kalau sudah meninggal dia tidak bisa buka nafas. Kalau dia masih hidup dibuang atau dibakar kan masih ada yang dihirup. Kalau dibakar bisa kelihatan ada gelaganya dalam gerakan metabolisme tubuh. (rtp)
Baca juga: Sedang Nyaman di Jerman, Habibie Dipanggil Soeharto dan Mendarat Saat Jakarta Membara (1)