Keraton Agung Sejagat
Kronologi Penangkapan Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat, Ditemukan Surat Palsu untuk Cari Anggota
Polisi menangkap pemimpin Keraton Agung Sejagat, Totok Santosa (42) dan istrinya Fanni Aminadia (41) alias Dyah Gitarja, pada Selasa (14/1/2020).
TRIBUNNEWS.COM - Polisi menangkap pemimpin Keraton Agung Sejagat, Totok Santosa (42) dan istrinya Fanni Aminadia (41) alias Dyah Gitarja, pada Selasa (14/1/2020) pukul 17.00 WIB.
Pasangan suami istri ini ditangkap di lokasi Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo.
Penangkapan tersebut dipimpin langsung oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Budi Haryanto.
Selanjutnya, menurut Budi, Totok Santosa dan Fanni Aminadia akan dibawa ke Polres Purworejo.
"Kita bawa ke Polres Purworejo untuk dimintai keterangannya," kata Budi Haryanto, dikutip dari TribunJateng.com, Rabu (15/1/2020).
Adapun barang bukti yang diamankan oleh polisi yaitu berupa berkas atau surat-surat palsu yang dicetak sendiri pelaku untuk merekrut anggota Keraton Agung Sejagat.
Pasangan yang menjadi raja dan permaisuri Keraton Agung Sejagat ini, diduga melakukan perbuatan melanggar pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong berakibat membuat onar di kalangan rakyat dan pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Menurut Budi, saat ini Totok Santosa dan sang istri tengah dilakukan pemeriksaan intensif oleh pihak Polres Purworejo.

Budi menambahkan, atas penangkapan tersebut, masyarakat diminta untuk tetap tenang.
"Kita sangkakan kepada pelaku dengan pasal 14 UU No.1 tahun 1946 dan penipuan pasal 378 KUHP. Namun saat ini masih dalam pemeriksaan intensif. Masyarakat dimohon tetap tenang," jelas Budi.
Ia menambahkan, mengenai dugaan makar, saat ini pihak kepolisian masih mendalami.
Dalam proses penangkapan tersebut, warga sekitar turut melihat proses penggledahan dari pihak kepolisian.
Kemunculan Keraton Agung Sejagat
Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo ini mengklaim sebagai kerajaan penguasa penerus Majapahit.
Keraton Agung Sejagat dipimpin oleh Totok Santoso Hadiningrat yang dipanggil pengikutnya dengan Sinuhun.
Sementara, istrinya yang merupakan permaisuri, dikenal sebagai Kanjeng Ratu.
Keberadaan Kerajaan Keraton Agung Sejagat dianggap sebagai cara menunaikan janji 500 tahun dari runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1518.
Kemunculannya Keraton Agung Sejagat ini adalah untuk menyambut kehadiran Sri Maharatu (Maharaja) Jawa kembali ke Jawa.
Para pengikut Keraton Agung Sejagat disebut dengan istilah punggawa kerajaan.

Tanggapan Warga
Awalnya warga sekitar tidak mengetahui dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Keraton Agung Sejagat.
Warga hanya tahu bahwa di dalam area rumah yang sekarang disebut sebagai keraton, sering melakukan aktivitas budaya.
Seorang warga bernama Sumarni (53) mengatakan, di dalam area tersebut akan dijadikan museum yang akan mendatangkan wisatawan.
"Akan ada semacam museum, ada berbagai macam kesenian lainnya, sehingga masyarakat sekitar makmur karena ada wisatawan akan datang," ujar Sumarni pada Selasa (14/1/2020).
Sumarni menambahkan, kegiatan di Keraton Agung Sejagat mulai ramai dan didatangi oleh berbagai orang dari luar mulai 14 Agustus 2019 lalu.
Menurutnya, orang-orang berdatangan dengan mengenakan kain-kain tradisional seperti kerajaan.
Ia mengungkapkan, orang-orang itu datang bukan dari Purworejo atau orang asli, melainkan mereka datang dari luar seperti Bantul, Imogiri, dan daerah lainnya.
Menurut Sumarni, acara yang mereka gelar menggunakan upacara ala pengantin Jawa.
Ada tarian gambyong, cucuk lampah hingga prosesi pecah telor.
Ia berujar, warga yang melihat prosesi tersebut menjadi heran dengan kegiatan tersebut.
"Kita sebagai warga jelas heran itu ada apa kok malam-malam seperti itu," katanya.
Rasa penasaran dan keanehan yang dialami oleh warga semakin bertambah pada Minggu kedua Oktober.
Menurutnya, warga kaget karena tiba-tiba datang sebuah batu besar pada malam hari.
"Itu batunya datang jam setengah tiga malam, otomatis kita sebagai tetangga dekat jelas dengar suaranya," ungkapnya.
Setelah datang batu besar tersebut, Sumarni melihat ada kursi-kursi sudah tertata rapi.
Batu besar itu dianggap sebagai bentuk bangunan Prasasti tanda telah sah menjadi kerajaan berdiri.

Makna Ukiran Batu Besar
Makna batu prasasti atau ukiran batu di Keraton Agung Sejagat dijelaskan oleh pembuatnya yakni Empu Wijoyo Guno.
Empu Wijoyo Guna adalah orang yang mengukir batu berukuran kurang lebih tingginya 1,5 meter itu.
Pada batu tersebut terdapat beberapa ukiran dan tulisan yang menurut Empu Wijoyo mempunyai maknanya.
"Tulisan Jawa itu artinya adalah Bumi Mataram Keraton Agung Sejagad," kata Empu Wijoyo, dikutip dari Tribunjateng.com, Selasa (14/1/2020).
Menurutnya, Mataram sendiri adalah 'Mata Rantai Manusia'.
"Maknanya alam jagad bumi ini adalah mata rantai manusia yang bisa ditanami apapun."
"Intinya segala macam hasil bumi adalah mata rantai manusia atau Mataram," ungkapnya.
Wijoyo menjelaskan jika pada batu terukir gambar Cakra yang menggambarkan waktu dan kehidupan manusia.
Sedangkan, di dalam cakra itu terdapat 9 dewa.
Ada pula ukiran Trisula yang menurutnya memiliki makna keilmuan.
Kemudian ada gambar telapak kaki yang bermakna sebagai tetenger atau penanda.
"Telapak kaki ini artinya adalah jejak atau petilasan. Kaki itu adalah tetenger kaisar," jelasnya.

Batu tersebut diukir sekitar 3 bulan yang lalu.
Fungsinya batu adalah sebagai penanda atau prasasti.
Menurut Empu Wijoyo, tulisan Jawa yang tertera pada batu memiliki arti sebuah pertanda bahwa ini adalah soko atau kaki atau tanda peradaban dimulai.
"Kerajaan ini adalah kerajaan dengan sistem damai. Artinya tanpa perang, berkuasa, oleh karena itu ditandai dengan deklarasi perdamaian dunia," katanya.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (TribunJateng.com/Permata Putra Sejati)