Jumat, 3 Oktober 2025

Belajar dari Kisah Ayah Tusuk Anak Balitanya hingga Tewas, Berikut 3 Pesan Penting Psikolog

Seorang ayah di Tangerang membunuh anaknya lalu berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Psikolog berikan pesan-pesan untuk belajar dari kasus ini.

Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: bunga pradipta p
TribunJakarta/Ega Alfreda/Dokumentasi polisi
Lokasi kejadian balita meninggal ditikam di kawasan Kedaung Wetan RT 02/02 Kelurahan Kedaung Wetan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Senin (16/12/2019). 

TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan seorang ayah pada anaknya yang masih berusia lima tahun.

Pria bernama Ardiansyah (30) itu membunuh anaknya, AC (5), di kontrakannya yang berlogasi di Neglasari, Tangerang, Senin (16/12/2019).

Dilansir dari TribunJakarta.com, bocah lima tahun itu mendapat luka tusuk di leher dan perut.

Menurut keterangan Kapolsek Neglasari, Kompol Manurung, setelah mengetahui anaknya meninggal, pelaku mencoba mengakhiri hidupnya.

Psikolog Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S Psi M Psi, menuturkan kekejaman tersebut dapat terjadi karena kondisi kehidupan yang sulit.

"Orang berani melakukan itu karena kondisi kehidupannya sulit, baik sulit karena beban-beban psikologis ataupun kondisi ekonominya yang sulit," tutur Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (17/12/2019).

Adib menyebut kasus ini merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa masyarakat sedang dalam kondisi psikologis yang sakit.

"Yang jelas, ini adalah fenomena bahwa masyarakat kita dalam kondisi psikologis yang sakit," kata Adib.

Belajar dari kasus ini, Adib menyampaikan ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran.

1. Tolong Menolong dalam Keluarga Sangat Diperlukan

Satu di antaranya yaitu mengambil pelajaran bahwa tolong menolong dalam keluarga memang sangat diperlukan.

"Kedekatan antar keluarga itu sangat penting, bagaimana orang bekerjasama, bagamana orang saling mendukung," tutur Adib.

Adib menambahkan, sejak kecil anak perlu dilatih untuk dapat berempati dan peka.

"Jangan sampai anak sejak dini sama keluarga berantem dibiarin," kata Adib.

Ia menjelaskan, seorang anak yang dibiarkan berkelahi atau bermusuhan dengan saudaranya akan menjadi tidak saling mengenal dengan saudaranya.

Akibatnya, ketika sudah menikah, anak itu akan tetap merasa hidup sendirian.

"Kalau dibiarin nanti mereka jadi nggak saling mengenal sehingga ketika sudah menikah dia merasa hidup ini sendiri," ujar Adib.

Adib menekankan bahwa peran keluarga sangat penting untuk meminimalisir permasalahan keluarga yang berujung pembunuhan seperti dalam kasus ini. 

"Tolong-menolong, saling mendukung, saling mendengarkan antar saudara ini sangat penting," tegas Adib.

"Kalau keluarga kecil itu kuat, keluarga besar itu kuat, tentunya masalah-masalah keluarga ini bisa dipecahkan dalam keluarga kecil ataupun keluarga besar sehingga ada kepedulian di sana," lanjutnya.

Menurut Adib, jika tidak ada kedekatan dalam keluarga, seseorang akan merasa buntu saat mengalami masalah.

"Kalau kemudian antar keluarga besar, antar ipar itu sudah terjadi konflik,

akhirnya orang merasa tidak ada dukungan sehingga ketika keluarga kecil ini mengalami konflik akhirnya merasa buntu, merasa bahwa sendirian," tutur Adib.

Lebih lanjut Adib menyampaikan agenda kumpul arisan bersama keluarga yang diadakan satu bulan sekali atau tiga bulan sekali akan bermanfaat untuk membangun kedekatan satu sama lain.

"Kumpul keluarga besar itu perlu diperkuat, katakanlah entah kumpul arisan tiga bulan sekali atau satu bulan sekali,

itu perlu untuk saling mendukung sehingga orang tidak merasa sendirian di masyarakat dan hal-hal seperti ini bisa dihindari," terang Adib.

Dengan demikian, kasus serupa dapat dihindari.

2. Pentingnya Menguatkan Iman

Poin kedua menurut Adib, seseorang perlu meningkatkan keimanannya.

Pasalnya, seseorang yang jauh dari agama akan mudah menganggap hidup sebagai beban.

"Orang kalau tidak dekat agama akan menganggap hidup ini beban karena merasa hidup harus mencari materi, hidup dituntut ini-itu,

harga-harga barang naik, akses kesehatan yang naik, ini kan membuat dia merasa tertekan," jelas Adib.

Sebaliknya, psikolog dari praktekpsikolog.com itu menuturkan seseorang dengan keimanan yang kuat dan memiliki rasa syukur yang tinggi akan lebih kecil kemungkinannya melakukan bunuh diri.

"Kalau orang bersyukur ini kan tanpa disadari akan mensyukuri apa yang dia miliki," kata Adib.

"Walaupun juga dilatih dengan usaha, tapi paling tidak pelajaran untuk bersyukur akan menghindarkan masyarakat dari pikiran bunuh diri,

karena orang merasa dia diberikan hidup maka tidak boleh mengakhiri hidupnya," sambung Adib.

3. Kepedulian dalam Masyarakat Diperlukan

Lebih lanjut, Psikolog dari Bintaro, Jakarta Selatan itu menyampaikan, peran tokoh masyarakat juga dibutuhkan dalam menanggulangi kasus seperti ini.

"Peran-peran lingkungan RT, lingkungan tokoh masyarakat, itu harus benar-benar peduli juga," tutur Adib.

Menurut Adib, saat ini budaya tolong-menolong dan kepedulian antar masyarakat sudah luntur.

Kini, sifat-sifat individual dinilai sudah mulai muncul di masyarakat.

"Sifat-sifat individual sudah mulai muncul, padahal ketika masyarakat itu mau tolong-menolong, bantu-membantu, ya seseorang akan merasa ada, merasa didukung, sehingga keinginan untuk bunuh diri menjadi berkurang," terangnya.

Dalam kasus ini, Adib menilai pelaku merasa tidak memiliki ruang komunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Dalam arti, ruang komunikasi dengan istri sudah sulit, ruang komunikasi dengan mertua, orangtua, saudara, mungkin juga sudah sulit," kata Adib.

Adib menekankan, kepedulian antar keluarga maupun antar masyarakat harus dijangkau.

"Kepedulian ini harus benar-benar dijangkau, didalami, artinya bagaimana seseorang itu peduli pada yang lain," tuturnya.

(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (TribunJakarta.com/Ega Alfreda)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved