Selasa, 30 September 2025

Kisah Ketut Salin, Seorang Tunanetra Penyelaras Gamelan

I Ketut Salin merupakan seorang tunanetra sejak lahir menjadi seorang pekerja penyeleras nada gamelan di Bali.

Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Ketut Salin mencoba instrumen gamelan gangsa yang ada di bengkel tempatnya bekerja, Rabu (5/12/2018). 

TRIBUNNEWS.COM, BANGLI - Satu persatu lempengan besi ditempa oleh I Ketut Salin.

Sesekali, ayah dari dua anak itu memukul lempengan yang baru ditempa dengan lempengan lainnya.

Kata dia, upaya ini untuk membandingkan bunyi antara lempengan yang baru dibentuk dengan lempengan yang sudah jadi, Rabu (5/12/2018).

Sejatinya, pria asal Desa Pengotan, Bangli itu tengah membuat perangkat gamelan berupa gangsa.

Ketut Salin sendiri merupakan seorang tunanetra sejak lahir tahun 1963 silam, sehingga tak pernah sedikitpun mengetahui seperti apa wajah orang lain, maupun bentuk hewan.

Hanya sedikit sekali gambaran yang mampu ditangkap oleh indra penglihatannya, namun menurut Ketut Salin, hal itu tidak terlalu berarti.

“Dari lahir sampai umur lima tahun, tiyang kira semua orang seperti tiyang nike,” ucapnya sembari tertawa.

Menjadi tunanetra sejak lahir, lanjut Ketut Salin, tak jarang rasa minder kerap menghantui dirinya.

Bahkan, rasa minder itu begitu kuat dan terus menyelimuti hingga 15 tahun lamanya. 

“Kala itu sekitar umur 10 tahun mulai merasa minder, ketika menyadari bahwa tidak semua orang seperti saya,” katanya.

Walaupun kenyataan yang diterima berbanding terbalik, Ketut Salin mengaku masih beruntung.

Sebab, ia memiliki teman-teman yang tidak membedakan serta masih tetap mau bergaul dengannya.

Hal ini yang diakuinya menjadi semangat, serta sedikit demi sedikit mengubah rasa mindernya.

“Sekitar tahun 1997 juga saya sempat main-main ke radio desa. Di sana saya diajari cara berkomunikasi lewat radio, hingga memiliki banyak teman. Dan dari sanalah, saya juga disarankan agar tidak lagi minder sampai sekarang,” tuturnya.

Hilangnya rasa minder, memberanikan dirinya untuk mempersunting pujaan hati pada tahun 2001.

Sejak saat itu pula, ia semakin semangat mencari pekerjaan walau hanya serabutan.

Pada tahun 2003, saat berkunjung ke rumah produksi gamelan, lanjut Salin, ia sempat ditunjukkan instrumen gamelan dari besi yang dibuat sendiri oleh pemiliknya.

Ia pun mencoba memainkan gamelan itu, namun diakui suara yang dihasilkan kurang bagus.

Berbekal pengalaman berkesenian gamelan yang dipelajari secara otodidak saat berusia lima tahun hingga menjadi anggota sekaa joged, gamelan tersebut diperbaiki dengan cara disetel atau diselaraskan nada-nadanya.

Bak gayung bersambut, upayanya menyelaraskan nada gamelan pun berbuah tawaran kerja, hingga kini Ketut Salin masih tetap bekerja di rumah produksi gamelan itu sebagai juru setel atau tukang laras pada gangsa, kantil, dan jegog.

Bahkan, di tahun yang sama, ia juga telah diminta untuk mengajar gamelan untuk anak-anak di wilayah Kintamani.

Bekerja sebagai tukang laras ditengah kekurangannya saat ini, jelas membuatnya wajib berhati-hati dalam proses pembuatan.

Pasalnya, sedikit saja kesalahan karena kurang konsentrasi akan berakibat fatal.

Sebab dalam proses pembuatan, Ketut Salin hanya mengandalkan perasaan.

“Pernah saat itu terjadi, bukan besi melainkan tangan saya sendiri yang saya pukul dengan palu. Akibatnya 10 hari saya tidak bisa kerja. Begitupun juga saat memotong bambu dengan mesin circle, ataupun saat menggunakan gerinda, harus benar-benar waspada. Karena kalau sampai salah, akibatnya akan menambah kesulitan saya. Bahkan, mungkin menyebabkan cacat tangan. Andaikan itu sampai terjadi, otomatis saya tidak bisa bekerja lagi,” katanya.

Diusia yang menginjak 55 tahun ini, Ketut Salin mengaku wajib bekerja keras, sebab ia merupakan tulang punggung keluarga, khususnya menghidupi kedua putrinya yang beranjak dewasa.

Ia mengatakan putri pertamanya saat ini berusia 16 tahun, sedangkan putri keduanya berusia 13 tahun.

Sementara sang istri, imbuhnya, telah meninggal tiga bulan lalu akibat penyakit diabetes yang diderita.

Khusus rekan-rekan yang senasib dengannya, Ketut Salin mengungkapkan bahwa hidup ini perlu perjuangan.

Sebab itu ia menyarankan untuk terus berusaha dan bekerja dengan memanfaatkan segala kelebihan yang ada.

“Sedangkan bagi rekan-rekan yang memiliki kondisi fisik normal, wajib memanfaatkan kelebihannya untuk kerja. Karena saya yang seperti ini saja bisa kerja, apalagi yang normal. Tentunya mereka masih memiliki kesempatan dan banyak yang bisa dipelajari, yang penting tekun,” harapnya. (*)

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Kisah Ketut Salin, Tunanetra Penyelaras Gamelan Berjuang Menghidupi Dua Anaknya

Baca: Gamelan dari Plat Besi Karya Warga Mojokerto Tembus Pasar Jerman dan Malaysia

Baca: Gamelan Berbunyi Sendiri Tiap Tengah Malam, Ini 4 Keanehan yang Dialami Penjaga Rumah Soeharto

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan