Selasa, 7 Oktober 2025

Mudik Lebaran 2018

Cerita Sukses Pembangunan Tol Cipali dan Turunnya Omset Rumah Makan Jalur 'Tengkorak'

Pada masa keemasannya, restoran cukup laris karena menu yang disajikannya beraneka ragam, terutama menu prasmanan nya.

Penulis: Yanuar Nurcholis Majid
Editor: Hendra Gunawan
Tribunnews.com/Yanuar Nurcholis Majid
Kondisi Restoran Hilda II yang sepi pengunjung. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid

TRIBUNNEWS.COM, PAMANUKAN- Dioperasionalkannya Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) mempunyai dampak ekonomi terhadap warga sekitar.

Salah satunya adalah para pemilik rumah makan yang berada di sepanjang jalur pantura Cirebon, Jawa Barat.

Pengusaha rumah makan tersebut mengeluh penghasilan mereka menurun setelah beroperasinya jalan tol Cipali pada pada 13 Juni 2015 lalu.

Baca: Kisah Cinta Pendeta Handerson Membunuh Anak Angkatnya yang Diduga Motif Cemburu

Baca: Kisah Mantan Teroris Murid Noordin M Top Mau Meledakkan Kafe Tetapi Batal Gara-gara Wanita Berjilbab

"Waktu belum ada tol penghasilan saya bisa sampai Rp 2 juta per bulan sekarang hanya Rp 900 ribu jelas sangat menurun," ujar Asep Karna (45 tahun), salah satu pelayan Restoran Hilda II, yang saat ini masih ditugaskan untuk menjaga restoran tersebut, saat ditemui Minggu (10/6/2018).

Restoran Hilda II, di Jalan Patok Besi, Kabupaten Subang ini merupakan salah satu restoran terbesar yang ada di jalur Pantura Jabar.

Restoran yang dibangun dengan arsitektur bergaya tradisional ini sudah melayani pemudik sejak diresmikan pada tahun 2010.

Pada masa keemasannya, restoran cukup laris karena menu yang disajikannya beraneka ragam, terutama menu prasmanan nya.

"Nggak pernah sepi, mas. Apalagi, kalau memasuki puasa dan arus mudik lebaran, sangat ramai," kata Asep.

Namun, pasca beroperasinya Tol Cipali, semuanya berubah 180 derajat.

Pelan tapi pasti, Restoran Hilda II kehilangan pelanggan yang terjadi dari waktu ke waktu.

"Akhirnya ya sepi mas, kayak gini, pemudik lebih milih lewal tol" ujarnya.

Menghadapi kondisi yang seperti ini, dirinya pun hanya bisa bergumam lirih.

"Tak ada lagi yang mampir," katanya.

Dia pun bercerita, sebelum Tol Cipali diresmikan, kehidupan warga di sepanjang ruas jalan Pantura, dari Cikampek hingga Indramayu, mendirikan rumah makan masih menjadi satu- satunya mata pencarian para warga setempat.

Luas halaman yang lebar dan fasilitas yang lengkap menjadi modal mereka untuk bisa menawarkan tempat peristirahatan bagi para pengendara mobil yang melintas.

Namun saat ini dari pantauan Tim Tribunnews.com, memasuki wilayah Cikampek, menuju Pamanukan warung-warung makan yang biasanya ramai menjadi tempat pemberhentian bus, truk, dan mobil tersebut, sudah banyak yang tutup.

Bahkan tidak sedikit yang rusak dan tidak terawat.

Ada juga warung yang masih bertahan untuk tetap berjualan, namun tampak sepi tak berpengunjung.

Ada pula beberapa warung makan dengan papan nama yang besar tertutup kain bertuliskan 'Dijual/Dikontrakkan'.

Pascalebaran 2015, Asep mencerita banyak rekan seprofesinya memilih untuk gulung tikar alias tutup.

Sementara yang memili modal lebih, banyak yang membuka usaha yang sama di rest area tol Cipali.

"Kalau mau dibilang drastis, ya maha drastis. Kalau dulu sehari bisa satu Rp 1 juta, misalnya, tapi sekarang masuk Rp 250 ribu saja sudah alhamdulillah," ujar nya.

Keberadaan Tol Cipali yang merupakan tol terpanjang di Indonesia, memang diharapkan pemerintah dapat mengurangi kemacetan di jalur Pantura.

Terlebih saat terjadi arus mudik dan balik Lebaran setiap tahunnya.

Kini, kendaraan-kendaraan pribadi yang biasanya memadati jalur 'tengkorak', itu lebih dari 50 persennya beralih ke Tol Cipali.

"Ya bisa dibilang tinggal kenangan lah," ujar Asep.

Ya, pantura Jabar, kala itu itu memang menjadi 'jalur emas' bagi siapa pun.

Namun kini keberadaan warung-warung tersebut bagai Hidup segan, mati pun tak mau.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved