Jumat, 3 Oktober 2025

Kisah Wanita Penderita HIV, Sekarang Menjadi Aktivis Penanggulangan HIV/AIDS

Suaminya juga mengidap HIV. Namun ia bersyukur buah hatinya tidak tertular penyakit yang dideritanya.

Editor: Hendra Gunawan

TRIBUNNEWS.COM, DUMAI - Penampilan fisik Kiki (35), warga Dumai yang sudah mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) sejak sembilan tahun lalu ini tak berbeda dengan perempuan lainnya.

Hanya status penyandang HIV saja yang membedakannya.

Di kehidupan kesehariannya, Kiki, laksana perempuan sejati. Ia memiliki suami dan seorang anak.

Suaminya juga mengidap HIV. Namun ia bersyukur buah hatinya tidak tertular penyakit yang dideritanya.

Tidak ada kata menyerah dan frustasi dalam kamus kehidupan Kiki.

Saat ini ia justru aktif menjadi penggiat penanggulangan HIV/AIDS di Riau guna melindungi masyarakat dari penularan penyakit berbahaya tersebut.

Kiki aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bahtera yang merupakan perpanjangan dari Yayasan Utama yang memiliki program pendampingan kepada penderita HIV dan AIDS di Riau.

"Saya tahu positif (HIV, red) sejak 13 oktober 2008. Faktor risiko tertularnya saya masih bingung darimana, karena semua risiko ada sama saya. Pertama kali tahu reaksi saya sama dengan orang normal lainnya, galau, pusing, stres pasti, saya berpikirnya besok mati, besok mati," ujar Kiki saat berbincang dengan Tribun, akhir pekan lalu.

Dua bulan setelah mengetahui mengidap HIV, Kiki mengaku masih menjalani aktivitas hidupnya seperti biasa.

Saat itu, gejolak jiwa muda menyeretnya masuk jerat narkoba, mabuk-mabukan dan aktivitas tak sehat lainnya.

Teguran itu datang setelah dua bulan, terakhir kondisi tubuhnya drop, kekebalan tubuh menurun, di situ mulai timbul ketakutan pada wanita yang lahir di Papua tersebut.

Ia mulai sadar risiko dunia hitam yang dijalaninya.

"Akhirnya saya putuskan merubah perilaku yang salah itu. Saya tinggalkan narkoba, mabuk dan lainnya. Dari awal 2009 sampai sekarang saya bersih dan alhamdulillah diawal 2009 saya putuskan minum obat," jelasnya.

Ujian datang saat pertama kali meminum obat melawan HIV. Efek samping obat yang diminum membuat kulit Kiki tampak gosong dan membuatnya minder.

"Namun saya kuatkan diri, bagaimana agar saya tetap sehat dan alhamdulillah bisa dijalani sampai sekarang," jelasnya.

Kiki bukanlah perempuan asli Papua, melainkan asli Karo yang ikut orangtuanya ke Papua. Kedua orangtuanya pengajar.

Ia termasuk remaja yang bandel dan sempat dipenjara. Kiki akhirnya dikirim kembali ke Medan. Ia menolak dan memilih merantau ke Kota Dumai, Riau.

"Saya tidak menyesali itu dan mungkin itu sudah tergaris di dalam hidup saya, biarlah itu masa lalu yang penting saya masih bisa bertahan meskipun ada penyakit ini dalam hidup saya. Saya dulu awal testimoni mau bertahan hidup lebih dari sepuluh tahun. Sekarang sudah 9 tahun sejak divonis mengidap HIV. Semoga umur saya panjang dan bermanfaat bagi orang lain, khususnya yang bernasib sama dengan saya," ujarnya.

Kekuatan Kiki itu diakuinya tidak lepas dari dukungan keluarga angkatnya yang mendampingi sejak statusnya positif mengidap HIV di Dumai.

Keluarga angkatnya juga bergerak dibidang LSM Pendampingan terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA).

"Mereka yang awal mendampingi hingga saya berani berdiri di depan orang membuka penyakit saya. Mereka selalu mendukung saya," jelasnya.

Diakui Kiki, di tahun pertama di vonis HIV, ia dikucilkan keluarga. Padahal di masa itu ia sangat membutuhkan dukungan keluarga. Kiki berusaha ikhlas mendapat cobaan berat ini.

Beruntung begitu hijrah ke Dumai, Kiki ditampung kakak angkatnya hingga akhirnya bersama-sama mendirikan LSM Bahtera, pendampingan bagi penderita HIV/AIDS.

Setelah lima tahun hilang kontak dengan keluarga, akhirnya komunikasi tersambung kembali berkat kiprahnya di LSM Bahtera.

“Awalnya ikut program dan sering ikut pelatihan dan bertemu teman se-Indonesia. Termasuk dari Papua, tempat tinggal orangtua saya. Iseng saja awalnya memberia tahu kalau saya di Riau dan teman dari Papua memberi kontak saya ke keluarga. Dari situlah komunikasi kembali terjalin.” kisah Kiki.

Ada kisah yang tidak pernah terlupakan bagi Kiki, ketika ia mendatangi ibunya yang sedang sakit keras.

Ibu dan keluarganya tak menyangka Kiki masih bertahan hidup dengan penyakit HIV yang dideritanya.
“Sebulan saya mengurus ibu hingga akhirnya meninggal. Saya bersyukur ibu masih melihat saya dengan kondisi bagus," ucapnya.

Kiki mengimbau rekan-rekannya yang mengalami nasib sama dengannya untuk menjalani hidup tanpa stres, jalani apa adanya.

Sebagai tim yang dipercaya untuk bidang penjangkauan, Kiki mengaku lebih kuat lagi dan termotivasi.

"Kalau ketakutan maklum. Kenapa masyarakat masih menjauhi, karena informasi yang didapat masyarakat masih salah. Misalnya, berjabat tangan juga akan menular, hal-hal seperti itu yang harus diluruskan," ujarnya.

Saat ini Kiki sudah bisa bergaul dan diterima sahabatnya yang normal (bukan ODHA, red).

Bahkan sahabat-sahabatnya sudah paham mengenai ODHA setelah mendapatkan penjelasan dari Kiki.

"Alhamdulillah teman-teman tidak memandang saya sebagai orang sakit dan bahkan mereka ikut mengingatkan saya untuk minum obat. Kami menyebutnya obat cantik, kalau minum pukul 09.00 maka setiap pukul 09.00 harus minum, tidak boleh terlambat," ujarnya.

Kini usia Kiki sudah 35 tahun dan sudah menderita HIV sejak usianya 26 tahun.

Sudah sembilan tahun ia bersama penyakitnya tersebut dan harapannya ingin berumur panjang tetap kuat. (TRIBUN PEKANBARU CETAK/uha)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved