Jumat, 3 Oktober 2025

Diusulkan Ada Pararem Larangan Konsumsi Anjing, Ini Alasannya

Sementara seperti yang diketahui untuk proses penyembelihan anjing dilakukan dengan penganiayaan, dengan dipukuli

Editor: Eko Sutriyanto
Animals Australia
Sate Anjing 

TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - One Health Collaborating Center (OHCC) Universitas Udayana (Unud) mengundang semua pihak membahas mengenai konsumsi daging anjing di Bali.

Dari hasil pertemuan itu, ada tujuh poin yang direkomendasikan ke pemerintah, satu di antaranya diusulkan harus ada perarem yang melarang konsumsi lantaran hingga kini belum ada regulasi yang tegas.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi One Health Forum: Human and Animal Welfare "Responding to Dog Meat Trade" oleh One Health Collaborating Center (OHCC) Universitas Udayana, Selasa (11/7/2017) di Hotel Sanur Paradise Hotel.

Dalam diskusi tersebut, mereka mencari masukan dari semua pihak, dinas terkait termasuk komunitas yang concern terkait permasalahan anjing

"Untuk merespon isu yang beredar tentang konsumsi daging (sate) anjing di Bali. di Mana itu berdampak pada pariwisata di Bali. Kami OHCC Universitas Udayana mencari opini dari semua stakeholder," ujar Nyoman Sri Budayanti, Coordinator OHCC Universitas Udayana.

Dari hasil diskusi diperoleh rumusan rekomendasi yang akan diberikan kepada Pemerintah Provinsi Bali sebagai dasar pengambilan kebijakan.

Poin itu adalah, pertama, berlandaskan filosofi Tri Hita Karana, telah disebutkan seyogyanya manusia diharapkan mampu membina hubungan baik antara lingkungan dan isinya termasuk anjing.

Kemudian poin kedua, tindakan mengonsumsi daging anjing bukan merupakan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat Bali karena bertentangan dengan budaya Bali yang percaya bahwa anjing memiliki peranan penting dalam kehidupan.

Selanjutnya merujuk Undang-undang  No 18 tahun 2012 tentang pangan, daging anjing tidak termasuk kategori pangan, karena anjing bukan merupakan produk peternakan atau kehutanan. 

Poin ke empat, ditinjau dari bidang kesehatan, praktik perdagangan anjing dan dagingnya sangat berpotensi terhadap penyebaran penyakit zoonosis terutama rabies di Bali.

Poin kelima adanya  penegakan hukum (berupa perarem, bhisama) yang jelas dan tegas untuk mencegah penjualan daging anjing, penerapan kesejahteraan hewan dan peredaran/lalu-lintas hewan sebagai implementasi dari undang-undang dan peraturan yang ada.

Terkait belum adanya aturan yang tegas ini, Drh Ira Firgorita, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengatakan, memang tidak ada regulasi secara eksplisit mengenai perdagangan dan konsumsi daging anjing.

Namun jika ditelaah, pada UU No 18 Tahun 2012, sumber pangan hayati berasal dari perikanan, peternakan, perairan, air dan kehutanan.

Sementara anjing tidak masuk dalam hewan ternak, berdasarkan UU No 18 Tahun 2009 Juncto No 4 Tahun 2014, penyembelihan hewan harus dilakukan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan sakit, takut dan penganiyaan.

Sementara seperti yang diketahui untuk proses penyembelihan anjing dilakukan dengan penganiayaan, dengan dipukuli.

Nyoman Sri Budayanti, Coordinator OHCC Unud mengatakan, anjing bukan termasuk hewan yang bisa dikonsumsi.

“Kami berharap apa yang terbaik bisa dilakukan di Bali. Jangan sampai para turis atau pihak dari luar yang tinggal di Bali memberikan pengaruh yang mengancam kelestarian kebudayaan di Bali, bantulah untuk menjaga budaya di Bali,” pintanya.

Osila dari Komunitas Stop Buang Anjing menyampaikan, yang perlu dilakukan adalah edukasi untuk tidak membuang anjing dan menyanyangi anjing sebagai hewan peliharaan. Menurutnya, dengan menghentikan pembuangan anjing akan menekan angka anjing liar di Bali.

Sehingga dari sana memperkecil ruang para penangkap anjing liar ini yang akan dijual untuk perdagangkan dagingnya.

"Kalau pembuangan anjing ini dihentikan, penjual daging anjing ini sulit mencari anjing yang akan dijual. Jika kemudian penangkapan dilakukan secara ilegal dengan mencuri, si penangkap bisa diproses secara hukum dengan kasus pencurian," ujar Osila.

Banyak Jual Beli Daging Anjing

Kabid Kesehatan Veteriner Dinas PKH Provinsi Bali drh I KG Nata Kesuma mengatakan, masih ada jual beli daging anjing di Bali.

Hal ini juga ditambah belum adanya regulasi mengenai peraturan tersebut.

Namun kata dia dari sisi filosofi masyarakat Bali, hal tersebut tidak sesuai.

Sehingga bukan dari aspek payung hukum saja, namun juga dari aspek lain, mulai dari sosial budaya dan yang terpenting dari aspek kesehatan.

Daging anjing kata dia rentan membawa penyakit zoonotik yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Secara filosofi, anjing adalah  hewan kesayangan, penjaga rumah, alarm untuk manusia. Sehingga tidak mungkin bagi masyarakat Bali untuk mengonsumsi daging anjing," ujarnya.

Nurjaya, perwakilan Bali Tourism Board (BTB) sekaligus Majelis Desa Pakraman, menyampaikan ada laporan dari turis tentang penjualan sate anjing.

Hal ini kata dia bisa mengancam pariwisata Bali.

Karena itu perlu dilakukan tindaklanjut terkait permasalahan ini. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved