Senin, 6 Oktober 2025

HIV AIDS di Surabaya

Inilah Cerita Dari Mantan Pekerja Seks di Surabaya yang Kini Berjuang Melawan HIV

raktik prostitusi bisa saja berhenti usai penutupan lokalisasi di sejumlah titik di Surabaya.

Editor: Sugiyarto
surabaya.tribunnews.com/Ahmad Zaimul Haq
Susi (bukan nama sebenarnya), menunjukkan bercak-bercak putih di tangannya yang muncul akibat konsumsi obat ARV. 

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Praktik prostitusi bisa saja berhenti usai penutupan lokalisasi di sejumlah titik di Surabaya.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa masalah dan dampak dari praktik itu pun turut berakhir.

Sebaliknya, saat ini patut diwaspadai masalah kesehatan dan penularan HIV/AIDS

Pasalnya, saat ini masih banyak wanita pekerja seks (WPS) yang kini berjuang untuk sembuh dari HIV/AIDS.

Mereka kini mendapat pendampingan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya maupun lembaga swadaya masyarakat, yang konsen pada para penderita ini.

Susi (32), bukan nama sebenarnya, salah satu mantan WPS yang sudah divonis positif HIV. Sejak 2013, ia bekerja di sejumlah tempat prostitusi.

"Saya tiga tahun bekerja di Jurang Kuping, lalu freelance di Moroseneng dan di Dinoyo," ujar Susi.

Selama bekerja ia memang tidak terlalu peduli tentang keamanan dan kesehatan. Ia hanya memikirkan mendapat uang dan bisa hidup.

Ia baru tahu, dirinya positif HIV sejak Juli 2016. Saat itu, Susi baru lima bulan berhenti sebagai WPS.

"Saya nggak punya bayangan pria mana yang menularkan penyakit ini, wong tahunya positif lima bulan setelah berhenti," katanya.

Baca: Untuk Orang Dengan HIV dan Aids, Temukan Lebih Dini agar Penanganan Mudah

Saat ditemui Surya, kondisi Susi tampak kurang fit. Sejumlah lingkaran hitam tampak di bagian leher dan lengan Susi. Tidak hanya itu, sekujur tubuhnya ada bercak putih di kulitnya. Setelah ditanya, ternyata itu dampak konsumsi antiretroviral (ARV).

Lantaran telat, sejak pagi ia lemas dan mual. Bahkan sampai muntah-muntah. Kulitnya luka dan menghitam. Saat ini ia didampingi Yayasan Orbit, LSM yang konsen menangani penderita HIV/AIDS.

"Biasanya nebus ke RS BDH, sebulan hanya Rp 15.000. Dapat obat 30 biji, sehari diminum satu butir obat," terangnya.

Seharusnya, lanjut Susi, setiap hari harus minum ARV dan nggak boleh terlambat. "Ini saya telat seminggu nggak minum obat karena kehabisan, besok baru mau ambil di RS Bakti Dharma Husaha," ungkapnya.

Halaman
12
Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved