Minggu, 5 Oktober 2025

Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus

emiliki keterbatasan fisik tak membuat anak-anak enggan bersekolah dan menuntut ilmu.

Editor: Sugiyarto
surya/galih lintartika
Umar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhineka yang didirikannya di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, bersama sang istri, Salma. 

TRIBUNNEWS.COM, PASURUAN – Memiliki keterbatasan fisik tak membuat anak-anak enggan bersekolah dan menuntut ilmu.

Bahkan, mereka dengan semangat berangkat ke sekolah seperti siswa lain yang tidak memiliki keterbatasan.

Ya, mereka adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menuntut ilmu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhineka, yang terletak di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan.

Sekolah ini bukan sekolah milik pemerintah. Sekolah ini mandiri dan berdiri berkat perjuangan dan kegigihan pasangan suami istri (pasutri) Umar (52) dan Salma (50).

Mereka adalah pasangan yang kompak karena memiliki jalan pemikiran sama, yakni ingin mendirikan sekolah khusus ABK di Pasuruan.

Keinginan pasangan ini pun tak mudah diwujudkan karena butuh kerja keras untuk bisa mencapai tahap seperti ini.

SURYA.co.id berkunjung ke sekolah yang berdiri sejak tahun 1996 ini, Rabu (19/4/2017).

Suasana sekolah ABK ini tampak seperti sekolah pada umumnya. Namun yang membuatnya istimewa adalah perjuangan pasutri yang mendirikan sekolah tersebut.

Banyak manis pahitnya perjuangan yang mereka alami dalam membangun sekolah ini.

Mereka membangunnya secara mandiri, karena sempat kesulitan mendapatkan donator atau penyangga dana.

Kepada SURYA.co.id, Umar mengaku alasan terkuat membangun sekolah ini karena panggilan hati.

Ia mengaku sangat trenyuh melihat ABK di sekitar lingkungan rumah istrinya yang tidak terpikirkan masa depannya.

Kala itu, ia merasa sangat iba dan ingin membuat sesuatu yang bisa bermanfaat untuk anak-anak berkebutuhan khusus itu.

“Saya ingin mengakomodasi pendidikan anak-anak yang memiliki keterbatasan, agar haknya memperoleh pendidikan itu terpenuhi,” katanya.

Ia menceritakan, perjalanan mengurus pendidikan anak-anak dibawah keterbatasan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Banting Stir
Ia mengakui dibutuhkan perjuangan ekstra, karena bukan hanya tenaga semata tetapi juga harta. Meski demikian, ia dan istrinya pun tak patah semangat.

“Justru cobaan itu kami jadikan sebagai pelecut untuk lebih bersemangat dalam menyelesaikan permasalahan dan rintangan,” kata pria alumni SGPLB Surabaya tahun 1986 itu.

Lulus kuliah, pria yang tinggal di Desa Tambakan, Kecamatan Bangil ini sempat mengajar di SLB Probolinggo.

Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena paska menikah dengan istrinya ini, ia memutuskan berhenti bekerja jadi guru.

Alasannya sederhana, karena rumah istrinya di Pasuruan, dan pekerjaannya di Probolinggo.

“Saya capek bolak-balik setiap hari. Saya memutuskan untuk berhenti saja, dan mencoba peruntungan sebagai perajin perak,” terangnya.

Banting stir menjadi perajin perak, kata Umar tidak mudah. Akhirnya ia pun memilih berhenti menjadi perajin perak karena tidak bisa bersaing dengan perajin perak lainnya.

Ia lalu melihat ABK menjadi gelandangan, pengemis, dan hidup di jalanan. Ia pun bertekad memberikan wadah bagi mereka untuk belajar.

“Bekal saya dulu hanya nekat. Saya saja tidak punya apa-apa, selain ilmu yang saya timba dari kuliah dan pengalaman sewaktu saya mengajar di SLB Probolinggo,” ungkapnya.

Ia pun memutuskan untuk mendirikan SLB pada 1991 silam. Awalnya, ia membangun SLB bersama rekannya, di wilayah Bangil.

Namun, di tengah perjalanan, ada perbedaaan prinsip dirinya dengan rekannya tersebut. Ia pun memilih untuk mundur.

“Buat apa saya bertahan, kalau kita memang sudah beda prinsip. Saya lebih baik mundur saja dari sekolah yang sudah saya rintis dengan teman sejak empat tahun yang lalu,” sambung Umar.

Tahun 1995, bapak dua anak ini pun kembali nekat dan merintis SLB sendiri. Satu-persatu ABK ditampungnya dan diberikan pembelajaran secara pelan-pelan.

Kala itu, ia pun mengorbankan ruang tamu rumahnya untuk tempat belajar ini, karena memang tidak memiliki gedung. Bahkan, untuk menyewa gedung pun , kala itu ia tidak mampu.

“Saya sempat dibuat bingung, saat murid bertambah banyak tapi ruang kelas tetap. Kalau saya paksakan di rumah tidak cukup, tapi ia pun takut menolak siswa yang mau belajar. Kasihan mental dan kondisi psikisnya” paparnya.

Saat itulah, ia pun mulai memberanikan diri untuk meminta bantuan. Ia pun mencari dukungan ke pihak kelurahan Glanggang.

Beruntung waktu itu, ada gedung TK yang tidak digunakan dan dimanfaatkan. Gedung TK yang dulunya tak terpakai itupun dimanfaatkannya untuk mengajar.

“Aktivitas belajar-mengajar saya lakukan pagi hari. Karena siang harinya saya bekerja. Pekerjaannya serabutan, pokoknya bisa menghasilkan uang,” jelasnya.

Hasil dari bekerja, kata dia, digunakan untuk biaya operasional sekolah, dan sebagian untuk biaya makan dan kebutuhan anak istrinya.

Mulanya, tidak ada permasalahan berarti. Namun, lambat laun, ia pun merasakan beban yang berat.

Ia harus membayar relawan yang ikut mengajar di sekolahnya, bayar operasional sekolah dan biaya lainnya.

“Saya tidak memasang tarif , bagi ABK yang belajar di sekolah ini. Sekolah ini gratis, semuanya saya yang menanggungnya. Tapi saat itu, kondisi saya sangat kritis, aduh sempat galau juga,” kenangnya.

Sempat Ingin Bubarkan Sekolah
Ia sempat berniat mau membubarkan sekolah ini. Namun, ia tidak tega melihat siswanya yang terpaksa kehilangan haknya mendapatkan pendidikan.

Di satu sisi, ia juga tidak mungkin bertahan dengan kondisi seperti saat itu.

Akhirnya, ia pun kembali memutar otak dan memutuskan untuk mencari sumbangan.

“Selain menggunakan uang pribadi, saya pun mulai mensosialisasikan dengan mencari donatur untuk operasional sekolah. Sayang, upaya untuk mencari donatur tidaklah mudah. Beberapa kali datang ke rumah orang-orang kaya yang berada disekitar sekolah, tapi tidak menghasilkan,” jelasnya

Alih- alih mendapatkan bantuan, lanjut Umar, mencari bantuan melalui proposal ini membuat hatinya semakin sakit.

Proposal yang berisikan persoalan anak-anak berkebutuhan khusus, hanya diambil dan diletakkan begitu saja.

Jangankan dibaca, dibuka saja tidak. Hal itu, membuatnya merasa tak lagi memiliki harapan kepada orang-orang yang diharapkan bisa memikul tanggungjawabnya.

“Saya justru dianggap seperti pengemis. Saya hanya diberi uang Rp 5.000 tanpa meliha isi proposal,” tandasnya.

Sejak itulah, ia pun termotivasi untuk bisa mendirikan SLB tanpa bantuan masyarakat. Ia mencari peluang untuk memperoleh support dari pemerintah.

Namun, mencari bantuan pemerintah itu juga bukan hal yang mudah. Butuh berbagai syarat untuk bisa mendapatkan bantuan dana, salah satunya memiliki tanah siap bangun.

“Saya jual tanah orang tua, dan saya belikan tanah kosong. Setelah itu, saya ajukan untuk mendapatkan bantuan pembangunan SLB,” ungkapnya.

Caranya itu pun berhasil. Ia mendapatkan bantuan dana Rp 90 juta untuk membangun SLB.

SLB yang dibangunnya kini, mampu menampung pelajar mulai dari TK hingga SMA. Meski masih banyak kekurangan dan butuh pengembangan ke depannya.

Butuh Perhatian Khusus
Umar mengaku, kalau mengurus anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah perkara mudah. Karena, harus memiliki rasa penuh kesabaran ekstra.

Mengingat, anak-anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan perhatian khusus.

Seperti kasus yang sering dialaminya bersama guru-guru SLB Bhineka.

Tak jarang mereka harus membuat kotoran di dalam kelas bahkan menceboki siswanya yang sudah besar-besar.

“Mereka memang memiliki keterbatasan. Ada yang tuna rungu, tuna grahita atau lemah mental. Sehingga, tak jarang ketika proses belajar mengajar berlangsung, tiba-tiba ada yang buang air besar di kelas. Mau tidak mau, kami harus membersihkan ruangan, bahkan juga menceboki siswa,” ungkapnya.

Meski begitu, ia tak merasa menyesal dengan dunia yang dilakoninya. Justru ia merasa bahagia, bisa memberikan perhatian ataupun berbuat sesuatu untuk mereka yang membutuhkan.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved