Senin, 6 Oktober 2025

Usaha Genoil Antarkan Andi Hilmi ke Negeri Ratu Elisabeth

Usaha Genoil milik Hilmi adalah pengubahan minyak jalantah menjadi biodiesel.

Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-inlihat foto Usaha Genoil Antarkan Andi Hilmi ke Negeri Ratu Elisabeth
Tribun Timur/Fahrizal Syam
Andi Hilmi Mutawakkil, Chief Executive Officer (CEO) Genoil

Laporan Wartawan Tribun Timur Fahrizal Syam

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Siapa sangka, keprihatinannya terhadap kondisi pasar dan kesehatan masyarakat akan mengantar pemuda asal Kabupaten Pangkep akan berangkat menuntut ilmu ke Negeri Ratu Elizabeth, Inggris.

Dialah Andi Hilmi Mutawakkil, chief executive officer (CEO) Genoil, perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan minyak biodiesel.

Bersama lima rekannya, Achmad Fauzy Ashari, Rian Hadyan Hakim, Jonathan Akbar, Fauzy Ihza Mahendra, Ahmad Sahmawi, Hilmi membawa usaha yang baru dirintisnya dua tahun lalu ini menjuarai event Ideas for Indonesia 2016, di Jakarta, 23-24 September 2016 lalu.

Ideas for Indonesia merupakan kompetisi bagi para pelaku usaha sosial ekonomi yang memberi dampak positif kepada masyarakat.

Para peserta mempresentasikan usaha atau bisnis mereka yang selain memberi keuntungan pribadi, juga dapat memberi keuntungan bagi masyarakat.

Hilmi dan rekannya mampu menyisihkan lebih dari lima ratus peserta dari seluruh Indonesia, hingga akhirnya dinobatkan sebagai juara dan brrhak atas hadiah uang Rp 100 juta rupiah serta study trip ke Inggris.

Usaha Genoil milik Hilmi adalah pengubahan minyak jalantah menjadi biodiesel.

Biodiesel ini kemudian dijual untuk nelayan-nelayan di Paotere dengan harga yang lebih terjangkau.

Hilmi yang ditemui Tribun menceritakan bagaimana ide awalnya muncul untuk membuat pabrik biodiesel.

Ia mengatakan semua berawal saat ia sedang jalan-jalan ke pasar Pannampu, yang tak jauh dari rumahnya dulu.

"Waktu itu saya ke pasar jalan-jalan, trus ada tiga hal yang menarik perhatian saya, penjual gorengan, ikan yang dijual kadang tak ada, sama preman di pasar," kata pria asal Kabupaten Pangkep ini.

Hilmi sadar bahwa minyak goreng yang dipakai para penjual adalah minyak jalantah, ia juga belakangan tahu bahwa ikan semakin sedikit karena banyak nelayan yang tak melaut akibat kesulitan membeli bahan bakar.

"Mengonsumsi minyak jelantah itu kan dapat menghasilkan penyakit degeneratif seperti hipertensi, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Sementara itu nelayan tidak melaut karena banyak yang tak kedapatan bahan bakar," kata dia.

Mahasiswa UNM jurusan Antropologi ini pun membuat riset kecil-kecilan tentang apa yang bisa ia perbuat dengan minyak jelantah, nelayan, dan juga para preman pasar.

Hingga akhirnya muncul ide pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel.

Biodiesel itu nantinya akan dijual ke nelayan, dan ia berpikir para preman dan mantan preman lah yang akan menjadi karyawannya.

Tak sekadar ide saja. Tahun 2012, Hilmi dibantu temannya mulai merancang pabriknya sendiri.

Dengan biaya seadanya dia membuat sebuah mesin pengolahan biodiesel sederhana dengan kapasitas 30 liter.

"Ilmu mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel saya pelajari sendiri. Kebetulan memang waktu SMA saya ikut karya ilmiah remaja dan sering melakukan riset energi," ungkapnya.

Merasa usahanya memiliki potensi, Hilmi dan kawan-kawannya mencoba mengembangkan usahanya dengan pabrik pengolahan yang lebih besar, namun sayang mereka terkendala dana.

"Kami sudah minta bantuan dana ke mana-mana baik dari pemerintah kota atau daerah tapi tidak ada yang merespon, begitupun waktu mau pinjam di bank juga tidak dikasih" ujarnya.

Menggadaikan barang-barang menjadi langkah terkahir yang dilakukan Hilmi dan teman-temannya.

Motor, mobil, bahkan sertifikat tanah pun ia gadaikan hingga terkumpul uang sekitar Rp 360 juta yang kemudian ia pakai membuat pabrik biodiesel di Daya.

Pabrik yang didirikan tahun 2014 mereka rancang dan bamgun sendiri, dan kini mampu menghasilkan 400 liter biodiesel per hari.

Tak kurang dari 30 orang mantan preman ia rekrut menjadi karyawan. Para mantan preman ini bertugas mulai dari mengambil minyak jelantah di pabrik-pabrik pembuatan mie atau restoran, hingga mengoprasikan mesin biodiesel.

Meski dalam perjalanannya menemui banyak kendala, tapi Hilmi dan kawan-kawannya kini mampu memperoleh omset hingga Rp 170 juta rupiah per bulan.

"Banyak kesulitan yang kami dapatkan awalnya, salah satunya yaitu kesulitan mendistribusikan ke nelayan karena mereka masih sulit menerima sesuatu yang baru," ungkapnya.

Mahasiswa angkatan 2012 ini mengatakan, masalah utama yang dihadapi masyarakat saat ini adalah banyaknya mafia minyak.

"Di Makassar ada 17.600 liter minyak jelantah perhari yang berasal dari restotoran dan industri. Di sini para mafia bermain, mereka memperjual belikan minyak jelantah ini. Jika ini disalahgunakan, bisa dibayangkan dampak yg dirasakan masyarakat," tuturnya.

"Sementara itu, kebutuhan bahan bakar nelayan yang tdak cukup, mereka lalu berurusan dengan mafia minyak untuk memenuhi kebutuhan minyak demi dapat melaut," tambahnya.

Kini Hilmi bersama teman-temannya tengah berusaha untukengurangi itu semua. Mencegah peredaran minyak jelantah, dan membantu nelayan mendapatkan bahan bakar dengan harga yang lebih terjangkau.

Ia pun mengaku ingin mengembangkan lagi usaha biodieselnya yang telah mendapat sertifikat pengakuan dari pemerintah ini.

"Kami ingin mampu memproduksi 30 ribu biodiesel setiap bulan, jika itu tercapai itu bisa membantu nelayan agar lebih hemat pengeluaran, selain itu kita bisa kurangi penggunaan minyak bekas pakai," tuturnya.

Meski begitu, ia sedikit kecewa dengan respon pemerintah setempat yang dinilainya tidak memiliki perhayian untuk mendukung programnya.

"Hampir tidak ada respon dari pemerintah di sini, kita mau audiens saja tidak bisa. Berbeda dengan di Jakarta yang sangat terbuka dengan kami seperti Kementerian ESDM, Pertamina, dan Kadin, mereka sangat mendukung usaha kami," katanya.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved