Jumat, 3 Oktober 2025

Fatma, Sarjana yang Mengajar di Perkampungan Hutan Pinus

Di daerah pinggiran Banyuwangi terdapat sebuah perkampungan kecil di tengah rimba pinus. Masyarakat mengenalnya dengan Kampung "Baung".

Editor: Y Gustaman
Surya/Haorrahman
Fatma (berjilbab) berfoto bersama guru-guru dan murid SD Negeri 8 Barurejo yang berada di hutan pinus, Banyuwangi. Lokasinya sangat terpencil. 

Laporan Wartawan Surya, Haorrahman

SURYA.CO.ID, BANYUWANGI - Di daerah pinggiran Banyuwangi terdapat sebuah perkampungan kecil di tengah rimba pinus. Masyarakat mengenalnya dengan Kampung "Baung".

Di perkampungan itu terdapat seorang sarjana yang mengabdi untuk mengajar. Dia adalah Fatmawati Nadlirah, sarjana yang ikut program Banyuwangi Mengajar.

“Orang-orang biasanya menyebut tempat itu kampung ‘Baung’. Mungkin karena banyak anjing hutannya,” kata Fatma kepada Surya.

Baung bermakna adalah anjing. Secara administratif, Kampung Baung terletak di perkampungan Dusun Sumberurip, Barurejo, Kecamatan Siliragung.

Menuju Kampung Baung harus menempuh perjalanan 12 kilometer dari Dusun Sumberurip, melewati hutan terlebih dahulu. Bisa dibilang kampung itu tertutup. Tak ada sinyal telekomunikasi di sana.

“Jangan berharap ada sinyal telekomunikasi di sini. Akses ke sana juga penuh tantangan. Harus melewati hutan pinus dulu," ujar Fatma.

Di kampung tersebut tidak boleh ada rumah permanen. Ini karena berada di bawah kawasan Perhutani yang memiliki regulasi khusus. Tidak boleh ada pembangunan fisik secara masif, karena semuanya aset Perhutani. Warga hanya boleh membangun rumah dari bilah-bilah kayu dengan beralaskan semen.

“Di Baung tidak boleh bangun gedung. Yang boleh hanya gedung untuk tempat ibadah dan sarana pendidikan,” kata mantan aktivis IPPNU Banyuwangi ini.

Pemkab Banyuwangi sengaja tidak melakukan pembangunan fisik. Di sini mengedepankan pembangunan sumber daya manusia.

Melalui program Banyuwangi Mengajar itu, Pemkab Banyuwangi mengirimkan sarjana-sarjana terbaiknya untuk mengabdikan diri, mengajar, dan memberi motivasi kepada anak-anak di desa-desa terpencil itu.

Fatma sendiri merupakan lulusan Insitut Agama Islam Ibrahimy Banyuwangi. Perempuan berusia 27 tahun tersebut telah lebih dua tahun mengabdi untuk mengajar di kampung itu. Fatma mengajar di SD Negeri 8 Barurejo.

“Saya ikut Banyuwangi Mengajar mulai tahun pertama sampai sekarang,” kata gadis asal Desa Dasri, Tegalsari itu.

Awalnya Fatma sempat ditawari untuk tinggal di rumah kepala desa. Namun, dia menolak karena tidak tinggal di kampung tempat ia mengajar.

”Rumah kepala desa cukup jauh dari kampung tempat saya mengajar. Padahal, konsep Banyuwangi Mengajar kan pengajarnya harus tinggal di lokasi agar bisa terus bertemu warga dan anak didik. Jadi saya menolak,” beber dia.

Fatma memilih tinggal di gedung sekolah. Ia menempati sebuah ruang 3 X 4 meter yang juga dijadikan perpustakaan. Di ruangan itu dia tinggal bersama suaminya.

"Selain jadi perpustakaan, ya juga jadi kamar saya,” ungkap dia.

Fatma bertahan untuk terus mengajar meski fasilitas terbatas. Ia teringat motivasinya saat pertama kali memutuskan mengikuti program Banyuwangi Mengajar, untuk ikut terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa.

"Niat awalnya ya bismillah. Saya ingin memanfaatkan ilmu saya untuk ikut mencerdaskan anak-anak," tutur dia.

Tantangan tersulit selama di kampung itu, kata Fatma, adalah mengubah mindset masyarakat. Rata-rata warga adalah para perantau yang mengadu nasib menjadi karyawan Perhutani.

Orientasi pendatang di sini mengumpulkan uang untuk membangun rumah di kampung halamannya. Pikiran tersebut menulari anak-anak. Bagi mereka ukuran kesuksesan memiliki banyak harta bukan pendidikan tinggi.

“Sekarang sedikit demi sedikit paradigma mereka mulai berubah. Bahkan, saya kini merintis pendidikan prasekolah. Ada lima anak usia pra-TK yang dititipkan pada saya untuk ikut belajar di sekolah,” ungkapnya.

Di SDN 8 Barurejo tersebut, terdapat sembilan pengajar sekaligus kepala sekolahnya. Enam di antara pengajar berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, tiga lainnya termasuk Fatma, pengajar non-PNS.

Fatma tidak tinggal sendiri di Kampung Baung. Sudah satu tahun ini Hasan ikut menemani istrinya itu tinggal di sekolah. Hasan terkadang ikut membantu mengajar jika guru tak ada. Sang suami mengajar anak-anak mengaji.

Saban ada keperluan ke kota, Hasan tak lupa mencari buku-buku atau majalah untuk melengkapi koleksi perpustakaan sekolah itu. Kini tak hanya pelajar SD saja yang datang untuk membaca, warga kampung juga tak mau kalah.

"Biasanya, setelah bekerja mereka mampir dan ikut baca-baca,” tutur Hasan yang merupakan alumni salah satu pondok pesantren di Genteng ini.

Banyuwangi Mengajar yang digagas Pemkab Banyuwangi adalah sebuah gerakan yang mengajak lulusan perguruan tinggi untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak pedesaan, khususnya di desa terpencil.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved