Senin, 6 Oktober 2025

Nyadran, Tradisi Warga Ungkapkan Rasa Syukur Sekaligus Doakan Kartini

Bagi warga di desa tersebut, Nyadran sebagai ungkapan syukur hampir tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat.

Editor: Dewi Agustina
Tribun Jogja/Agung Ismiyanto
Ratusan warga Dusun Sorobayan dan Dusun Ngepos, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang menggelar sadranan atau nyadran, Kamis (21/4/2016) pagi. 

Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra.

Kemudian datang para Walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT. Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam.

"Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh masyarakat,” tandasnya.

Kepala Dusun Sorobayan, Sholeh menambahkan, tradisi Nyadran merupakan bentuk penghormatan atas jasa-jasa leluhur ketika berjuang membangun kampung yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu.

Warga berdoa kepada Tuhan untuk leluhur yang telah meninggal dan menghormati jasa mereka.

"Nyadran juga merupakan dakwah Islam Walisongo tanpa meninggalkan budaya lokal," jelasnya.

Dia menyebutkan, sehari sebelum Nyadran, warga bergotong royong membersihkan kuburan umum dusun, termasuk makam Kiai dan Nyai Polosoro, dilanjutkan dengan tabur bunga.

Sedangkan doa dan makan bersama sebagai puncak tradisi ini dilakukan di halaman Masjid Al Ikhsan Dusun Sorobayan.

Dia menyebutkan, dalam tradisi ini, kenduri menjadi satu rangkaian Nyadran yang paling ditunggu.

"Rasa kebersamaan antar keluarga dan warga lainnya tercipta di moment ini, tanpa membedakan kaya maupun miskin," katanya.

Beberapa pergeseran dalam melestarikan tradisi ini juga terjadi. Dahulu, kenduri dilakukan di sepanjang jalan menuju makam.

Namun karena faktor kebersihan, selanjutnya kenduri dilakukan di jalan dusun ini yang lebih bersih.

"Selain itu, warga juga sudah tidak banyak lagi yang memakai tenong untuk membawa makanan ini. Mereka sudah memakai besek yang lebih praktis," kata Sholeh.

Tak hanya diikuti warga sekitar saja, keluarga dari luar desa yang memiliki leluhur dimakamkan di dusun ini juga datang untuk nyadran dan mendoakan arwah leluhur dan orang tua mereka.

Mereka yang disebut kadus itu, antara lain datang dari Muntilan, Salatiga, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. (Tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved