Minggu, 5 Oktober 2025

Kisah Bocah Yatim yang Meratau Jualan Siomay Bakar untuk Menghidupi Keluarganya

Roin yang masih seumuran anak SD adalah penjual somay bakar. Tiap hari ia menjajakan dagangannya di sekitar Desa Ngemplak Seneng, Manisrenggo, Klaten.

Editor: Sugiyarto
Tribun Jogja/Usman Hadi
Roin, bocah yang harus berjualan somay karena kemiskinan di keluarganya 

TRIBUNNEWS.COM, KLATEN - Raut muka Roin berseri, sesekali ia mengotak-atik kompor dan gerobak dagangannya, sedari menunggu pelanggan yang sudi membeli somay bakar yang ia jajakan.

Ya, Roin yang masih seumuran anak SD adalah penjual somay bakar. Tiap hari ia menjajakan dagangannya di sekitar Desa Ngemplak Seneng, Manisrenggo, Klaten.

Sama dengan penjual somay pada umumnya, Roin membawa barang dagangannya dengan dipikul. Dan bila tempat dagangannya jauh biasanya ia diantar oleh sang majikan.

Roin bukan asli warga Ngemplak Seneng. Ia adalah pendatang dari Brebes yang ikut juragan somay bakar (juga asal Brebes) yang lebih dulu mapan di Klaten.

Roin tak sendiri, karena ada tujuh orang lainnya yang juga ikut sang juragan. "Yang di rumah sekarang ada enam orang," tuturnya, Kamis (4/2/2016).

Roin memang anak pemalu.Dalam melayani pembeli ia sering menundukkan kepala, dan akan menjauh bila ditanyai orang yang kurang familiar baginya.

"Anaknya memang begitu, agak pemalu," ungkap Turadi, warga sekitar yang sering melihat Roin berjualan.

Di Ngemplak Seneng, Roin dengan tujuh kawannya tinggal se rumah dengan juragan Wagi, namun kini yang tinggal di rumah tinggal enam, sedang yang satunya sedang pulang ke kampung karena orang tuanya meninggal.

"Ini bapak saya (Somat, red) juga ikut pulang, jenguk yang meninggal," jelas Wagi.

Roin adalah satu dari sekian anak yang kurang beruntung di negeri ini.

Yatim

Saat kebanyakan anak seusianya tengah asyik bermain dan bersekolah, kini Roin harus berjibaku mengais rezeki untuk mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya.

Pasalnya sedari kecil ia telah menjadi yatim.

Roin lahir dari keluarga sederhana dari kampung Citimbang, Salem, Brebes.

Ia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Karena himpitan ekonomi, Roin dan kedua kakaknya tak bisa menikmati bangku sekolah.

"Aku hanya sampai kelas 4 SD," jelas Roin.

Adapun profesi yang kini Roin geluti adalah pilihannya sendiri. Roin bercerita bahwa tak ada yang mengajaknya berjualan somay bakar, namun karena melihat kakaknya yang juga ikut juragan Wagi, akhirnya ia tertarik untuk mengikuti jejak sang kakak.

"Orang tua enggak bolehin ke sini (Klaten, red.), tapi aku sendiri yang mau ke sini," terangnya.

"Jangan, jangan pergi," tiru Roin atas sergahan ibunya.

Pendapatan Roin sendiri dari jualan somay bakar menurutnya lumayan. Meskipun pendapatnya fluktuatif, tergantung minat masyarakat yang membeli.

"Kalau jualannya habis satu gerobak pendapatan kotor bisa sampai Rp200 ribu," papar Roin.

"Ya tergantung jualannya, terkadang dikasih Rp60 ribu, Rp50 ribu, Rp40 ribu. Seringnya dapat 50 ribu," tambahnya.

Turadi, warga sekitar, hanya bisa menyayangkan anak seumuran Roin harus berjibaku untuk urusan perut.

"Pas tak tanya pendapatan per harinya ya sekitar 60 ribu, ya lumayan besar. Tapi masalahnya kan pendidikannya terlantar. Ngesakne lare-lare seumuran gitu," ibanya.

Meski begitu Turadi memaklumi kondisi Roin. Pasalnya di desanya juga masih banyak anak yang putus sekolah, dan memutuskan untuk kerja di tambang pasir.

"Orang-orang sini juga banyak yang kerja setelah lulus dari SD. Kerja di tambang pasir, mayoritas begitu," unggahnya.

Wagi, sang juragan somay bakar menuturkan bahwa selama ini ia tidak pernah mengajak orang-orang di desa asalnya untuk ikut berjualan bersamanya.

Dan semua orang yang kini ikut dirinya, berjualan atas kemauannya sendiri.

"Saya lulus SD juga langsung jualan, saya merantau sejak tahun 2003 ikut juragan. Setelah dapat ilmu saya mendirikan sendiri, sementara bapak saya (Somat, red) ikut saya mulai 2006," terang Wagi.

Wagi menuturkan bahwa anak-anak kecil di kampung halamannya di Citimbang, banyak yang putus sekolah.

Kemiskinan sangat identik di kampung kelahirannya, sehingga banyak anak kecil yang memutuskan untuk kerja.

"Kalau mau komentar melanggar undang-undang, toh ini atas kemauan sendiri. Saya tak pernah mengajak," sangkalnya.

Tujuh Orang

Kini ada tujuh orang yang ikut Wagi, dan dia mengakui bahwa dua di antara orang-orangnya masih di bawah umur untuk dipekerjakan.

"Sini sistemnya bagi hasil, 30:70%. 30% untuk pegawai dan 70% untuk modal dan untung usahanya," terang Wagi.

Namun dalam memberikan upah, Wagi tak mau langsung memberikan gaji tersebut pada anak buahnya.

Gaji mereka baru Wagi kasihkan kalau mereka pas lagi butuh atau lagi pas pulang ke rumah.

"Yang tak kasihkan per harian cuma ala kadarnya, karena kan anak kecil, nanti kalau tak kasihkan gaji semua, kan yang namanya anak, langsung habis nanti. Biasanya pas pulang gajinya tak kasihkan, jadi setiap pegawai ada catatan gajinya," tegas Wagi.

Wagi berujar bahwa semua pegawai yang ikut dengannya ia anggap sendiri sebagai keluarga.

Semua urusan pegawai selama di tempat kerja berada atas pengawasannya.

"Pernah ada pegawai yang jatuh di sumur, dan harus operasi habis Rp9 juta. Itu yang nanggung saya," terangnya.

Wagi tak menampik kalau banyak orang yang menanyakan ke dirinya mengapa mempekerjakan anak-anak di bawah umur.

Dalam menanggapi omongan itu, ia hanya menjelaskan datar ke banyak orang, bahwa inisiatif jualan tidak datang darinya, tapi berangkat dari keinginan sang anak, atau bahkan orangtuanya.

"Kalau ingin detail keadaan kondisi perekonomian anak-anak, bisa datang ke rumah. Bisa dilihat seperti apa kondisi keluarga mereka di desa. Di sana banyak anak yang putus sekolah," tuturnya.

Dalam berjualan, Wagi juga tak pernah memaksa orang-orang yang ikut dengannya untuk tetap bekerja untuknya. Bila ada di antara mereka yang ingin pulang, mereka bakal di antar pulang.

"Pernah juga ada yang tak antar pulang karena tidak betah," jelasnya.

Wagi juga berujar kalau dia tak pernah menekan anak buahnya harus setoran berapa.

"Kalau terjual banyak yang enak juga buat siapa, toh saya enggak minta. Bapak juga jualan, saya juga jualan," terangnya.

"Kalau mau pembuktian, silahkan datang langsung ke rumah, tanya ke orangtuanya. Kami enggak pernah maksa, kalau enggak percaya silahkan datang langsung ke rumah (Brebes, red.)," tantang Wagi. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved