Dituding Lakukan Malapraktik, Dokter RS Baptis Kediri Dilaporkan ke Polisi
- Dokter Nico Sianipar SPPd yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Baptis Kediri dilaporkan ke Polda Jatim terkait dugaan malapraktik
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Dokter Nico Sianipar SPPd yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Baptis Kediri dilaporkan ke Polda Jatim terkait dugaan malapraktik
. Laporan dilayangkan pihak keluarga almarhum Sakroni (48), karena adanya pembiaran dalam penanganan medis hingga berujung kematian.
Pelapornya dr Saifudin MSi, adik korban, diwakili kuasa hukumnya, dr Rudy Sapoelete SH MH MBA dan Prayitno SH MH.
Bahwasanya Saifudin melaporkan dr Nico Sianipar sesuai Pasal 359 dan atau 361 KUHP dan atau Pasal 190 ayat 1 dan 2 dan atau 201 ayat 1 dan 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Klien kami melaporkan ke Polda terkait penanganan yang salah atau tidak sesuai standar profesi dan SOP dan tidak cepat melakukan tindakan sehingga mengakibatkan kakaknya meninggal dunia,” ujar Rudy Sapoeletem Jumat (8/1/2016).
Laporan itu tertuang dalam laporan polisi nomor LP/1873/XII/2015/UM/SPKT Polda Jatim, tanggal 29 Desember 2015.
Dalam hal ini, Rudy juga menyoal fasilitas BPJS milik korban asal Banaran, Kediri oleh pihak RS sehingga terpaksa menjadi pasien umum dan baru bisa menjalani rawat inap.
“Korban saat itu sempat ditolak oleh dokter jaga IGD saat minta dirawat inap. Terpaksa istri menyetujui tak menggunakan BPJS. Nah kenapa nggota BPJS harus dibedakan dalam pelayanannya, soal kegawatan medis yang dirasakan pasien. Seharusnya pihak RS berpedoman pada penyelamatan nyawa,” tandasnya.
Terkait modus memulangkan pasien BPJS di IGD agar pindah menjadi pasien umum, apakah itu sudah memenuhi standar operasional prosedur Rumah Sakit Baptis.
“Apakah yang dilakukan dokter umum jaga itu telah memenuhi standar profesi dan standar operasional prosedur,” ujar Rudy dengan nada tanya.
Kasus ini mencuat pada 16 Agustus 2015 saat pasien yang guru Madraaah Ibridaiyah ke IGD RS Baptis karena mengeluh nyeri perut sangat kuat selama tiga hari dan saat itu diterima dokter umum.
Setelah menjalani pemeriksaan fisik, pasien peserta BPJS nomor 0000109801462 itu dilanjutkan pemeriksaan laboratorium BUN, creatinin, urine lengkap dan gula darah acak (GDA) lalu membayar.
Dokter umum yang jaga memberi obat penghilang nyeri melalui dubur dan dinyatakan pasien tidak perlu rawat inap.
Lantaran korban masih merasa kesakitan, istri korban minta pasien dirawat inap, tetapi dokter jaga IGD menolaknya dengan alasan menggunakan kartu BPJS.
Apabila ingin dirawat, dokter jaga menyarankan untuk tidak memakai BPJS dan menjadi pasien umum. Setelah keluarga menyetujui pasien langsung diproses, trmasuk mendapat resep.
Obat yang diberikan di antaranya, Pethidin injeksi 100 mg/2ml (sejenis obat-obatan narkotika) yang menghilangkan rasa nyeri.
Meski mengetahui fungsi obat itu, dr Nico Sianipar dianggap tidak bekerja serius dan tetap dilakukan penyuntikan.
Padahal itu harus dihentikan, tetapi malah diteruskan yang berakibat kaburnya diagnosis.
Dokter tersebut tidak segera melengkapi diagnosis penunjang yang ada, dan baru tiga hari diperiksa dengan USG.
Padahal dokter spesialis yang seharusnya lebih teliti dalam kasus per kasus, bukan membiarkan berhari-hari.
Korban saat itu masih mengeluh sakit dan tak ada penanganan serius hingga pengobatan terus dilakukan.
Setelah kondisi pasien tak kunjung sembuh akhirnya dikonsultasikan ke dr Andreas Wahyudi SpB.
Saat itu dokter Andreas juga mendukung dr Nico dan tetap menyuntikkan antinyeri perut, salah satunya injeksi pethidin.
Menginjak hari keempat, baru diketahui jika keluhan korban itu ciri khas dengan infeksi usus buntu.
Diagnosa itu lalu disampaikan ke dokter Nico untuk dilakukan operasi di RSUD Gambiran Kediri.
Ini dilakukan karena alat USG usus buntu akut dan tumor intra lumen di rectosigmoid tak dimiliki RS Baptis Kediri.
Pasien masih disuruh menunggu hasil colonoscopy dari RSUD Gambiran Kediri dan menunggu dr Andreas Wahyudi yang mengikuti pertemuan di Surabaya.
Karena adanya kegiatan yang diikuti, dokter Andreas menyarankan pulang dan baru ditangani pada 24 Agustus 2015.
Pada 20 Agustus, dr Fahmi yang saat itu visit ke ruangan korban, mendapat laporan kalau kondisinya shock dan dicurigai disebabkab terjadi perforasi usus mengakibatkan infeksi pada perut.
Karena harus ditangani dokter bedah akhirnya dirujuk ke RSUD Moh Iskak Tulungagung. Dokter bedah di RSUD Moh Iskak menyatakan kondisi korban belum stabil dan belum bisa dioperasi.
Pada Jumat (21/8/2016) sekitar pukul 03.00 WIB, korban tidak sadar hingga dilakukan resusitasi. Namun, sekitar pukul 03.35 WIB, korban meninggal dunia.
"Resume dari RSUD dr Moh Iskak Tulungagung menyatakan bahwa korban meninggal akibat infeksi berat menyeluruh pada perut akibat jebolnya usus besar," tandas Rudy.
Kuasa hukum RS Baptis Kediri, Ngesti Lestari, menyatakan pasien memaksa pulang padahal kondisinya belum sembuh.
"Korban sendiri yang berangkat ke RSUD Gambiran Kediri," katanya.