Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Jadi PR
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah mencari model dan mekanisme untuk memudahkan pelaksanaan pelayanan permohonan tersebut.
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG – Perlindungan dan pemenuhan hak korban kejahatan, khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan.
Untuk itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah mencari model dan mekanisme untuk memudahkan pelaksanaan pelayanan permohonan tersebut.
Salah satunya menggandeng pemerintah daerah agar pemberian perlindungan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat lebih maksimal.
Bertempat di ruang pertemuan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Jateng, Semarang, Rabu (1/4), LPSK mengadakan Focus Group Discussion (FGD), membahas inisiatif daerah untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat
Ada tiga narasumber yang dihadirkan dalam acara yang dihadiri para aparat penegak hukum dan akademisi itu, yakni Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Kasub Diseminasi HAM pada Kanwil Kemenkumham Jateng Siti Yulianingsih, dan Kasubag HAM pada Biro Hukum Setda Provinsi Jateng YS Endang Sabarsih.
FGD berlangsung interaktif yang diselingi dengan tanya jawab antara peserta dan narasumber.
Ketua LPSK AH Semendawai mengatakan, penyelesaian terhadap korban pelanggaran HAM berat tidak memiliki ruang yang memadai dalam proses penegakan hukum. Masalah ini menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia.
Namun, mengacu UU 13/2006 jo UU 31/2014, LPSK diberi kewenangan dalam mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan.
Khusus bagi korban kasus pelanggaran HAM berat, kata Semendawai, sesuai Pasal 6, akan diberikan bantuan medis, psikologis dan psikososial berdasarkan rekomendasi dari Komnas HAM.
Bantuan serupa juga diberikan kepada korban tindak pidana yang berpotensi sebagai saksi dan akan memberikan keterangan, baik dalam proses penyelidikan sampai dengan pengadilan.
Selain itu pada Pasal 7 juga diatur tentang restitusi dan kompensasi. Korban melalui LPSK, dalam hal ini berhak mendapatkan kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Sedangkan hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan
mengenai kompensasi dan restitusi ini, menurut Semendawai, akan ditetapkan oleh pengadilan.
Sementara itu, Kasubag HAM pada Biro Hukum Setda Provinsi Jateng YS Endang Sabarsih lebih menyoroti jaminan perlindungan saksi dan korban dari kacamata pemerintah daerah (pemda).
Selain mengacu ketentuan yang ada, seperti UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU 13/2006 jo UU 31/2014, serta Perpres 23/2011 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (Ranham), Gubernur Jateng, kata Endang, juga telah menyiapkan payung hukum berupa Keputusan Gubernur Jateng No 180/27 Tahun 2013 tentang Pembentukan Panitia Ranham Provinsi Jateng.
Dengan telah terbentuknya LPSK, kata Endang, maka dalam implementasi dan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, khususnya di wilayah Provinsi Jateng, perlu dilakukan koordinasi intensif antara instansi terkait, antara lain Kemenkumham, Pemprov Jateng, LPSK, pihak kepolisian dan masyarakat.
“Diharap penanganan dan perlindungan terhadap saksi dan korban bisa lebih maksimal,” katanya.
Sedangkan Kasub Diseminasi HAM pada Kanwil Kemenkumham Jateng Siti Yulianingsih mengatakan, seluruh menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian, wajib melaksanakan Ranham sesuai tugas dan fungsi
masing-masing.
Begitu pula dengan gubernur, bupati/wali kota, yang melaksanakan Ranham dengan memerhatikan kondisi dan permasalahan di daerah.
“Ranham disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan HAM di Indonesia,” kata dia.
Sebelumnya, pada awal tahun 2015, LPSK telah merilis jumlah permohonan yang masuk pada 2014, di mana sepanjang tahun lalu terdapat 1.074 permohonan perlindungan.
Dari jumlah itu, sebanyak 981 permohonan telah dibahas dalam Rapat Paripurna LPSK. Hasilnya, sebanyak 685 permohonan diterima dan sisanya 296 kasus ditolak.
Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat menjadi asal pemohon yang paling mendominasi.
Khusus kasus pelanggaran HAM berat, datang dari pemohon korban pelanggaran HAM tahun 1965.
Kasus pelanggaran HAM menjadi yang terbanyak dengan 644 laporan, disusul trafficking 144 laporan, korupsi 43
laporan, kekerasan dalam rumah tangga 3 laporan, tindak pidana pencucian uang 1 laporan dan pidana umum 210 laporan, yang terdiri dari kasus individu, pemerkosaan, kekerasan kolektif dan aparat.