Jumat, 3 Oktober 2025

Unik, Tradisi Mencabik Kain Mayat di Bali

Satu-persatu bahkan berebutan. Bahkan mereka mencoba naik ke atas mayat.

Editor: Hasanudin Aco
Tribun Bali/ I Putu Darmendra
Tradisi mencabik kain mayat di Bali. 

"AIIIITT...!" Begitu pekikan seorang pria terdengar keras memberikan isyarat sembari mengangkat kedua tangannya di depan gapura rumah almarhum, Gusti Putu Karang (68) yang meninggal enam hari yang lalu, Kamis (19/2/2015).

TRIBUNNEWS.COM, BALI - Sejurus kemudian, tanda tersebut direspon dengan hentakan baleganjur. Puluhan warga Banjar Buruan, Desa Pekraman Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring Gianyar, langsung siaga.

Pekikan demi pekikan bertalu, seakan mereka tidak sabar menunggu moment itu. Tak berselang lama, sejumlah pria berbadan kekar keluar mengangkat mayat yang sudah terbungkus rapi oleh kain kafan, batik, tikar, hingga dua lapis rantai bambu.

Guyuran air dari rumah warga menghujani jalanan. Saat itulah di mana tradisi mesbes bangke (mencabik kain mayat) dimulai.

"Aiit, aaiit, aiiitt...!" Hanya itu suara yang terdengar di tengah hentakan baleganjur yang semakin mengeras. Semangat warga seakan semakin membara.

Satu-persatu bahkan berebutan. Bahkan mereka mencoba naik ke atas mayat. Mencabik dan menggigit tikar, kain kafan, dan rantai bambu yang kemudian dihempaskan ke udara.

Kesan kesedihan keluarga saat mayat almarhum dicabik-cabik warga sebanjar terbantahkan. Ini terlihat saat keluarga almarhum juga turut serta di dalamnya. Sekitar 15 menit berlalu, rapinya bungkusan mayat berubah wujud menjadi compang-camping.

Serpihan tikar bertebaran di jalan sekitar 200 meter dari jarak rumah menuju pertigaan dimana bade dan lembu menunggu. Saat itu, hentakan baleganjur pun berhenti.

Baru kemudian mayat dinaikkan ke atas bade. Mereka yang awalnya mesbes bangke beralih menuju sanan bade lalu mengangkatnya menuju Setra Desa Pekraman Tampaksiring.

"Bau sih bau, namanya juga bangke matah, baru enam hari. Tapi semangat dan rasa kebersamaan kami yang membuat bau itu tidak berarti," ujar I Made Putra.

Putra yang bersimbah keringat setelah mengikuti tradisi mesbes bangke mengutarakan rasa herannya. Pria 30 tahun ini mengaku tidak tahu penyebab warga tidak jijik saat mencabik-cabik mayat. Pasalnya, tradisi mesbes bangke tidak hanya dengan tangan saja, melainkan ada yang menggunakan gigi.

"Kalau baleganjur sudah menghentak, jeg semangat kami berkobar. Saya tidak tahu, saya tidak jijik, yang lain juga tidak jijik. Sepertinya sudah mendarah daging," jelasnya tersenyum keheranan.

Sementara, I Komang Suteja (26) mengatakan, tradisi mesbes bangke bukan sebagai ajang balas dendam. Dengan gamblang ia menjelaskan, ini hanya tradisi yang sudah berjalan dari turun-temurun. Tak sekalipun tradisi mesbes dijadikan ajang pembalasan apabila warga yang meninggal memiliki masalah dengan warga lainnya.

"Masalah personal atau kesepekan banjar, tidak ada. Tradisi ini tidak ingin kami nodai dengan hal-hal seperti itu. Keluarga almarhum bahkan ikut mesbes. Ini hanya tradisi leluhur yang terus kami jalankan," jelasnya.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved