Kenaikan Harga Elpiji
Disperindagkoptan Yogja Akan Pantau Konsumsi Elpiji 3 Kg
"Masyarakat kan lebih tahu kondisi di lapangan. Jadi laporkan saja agar ditindaklanjuti aparat," katanya.
TRIBUNNEWS.COM,YOGYA - PT Pertamina (Persero) menaikkan harga elpiji 12 kilogram (kg) Rp1.500 per kilogram atau dari semula Rp 92.000 menjadi Rp114.300 per tabung.
Setelah adanya kebijakan tersebut, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta akan memantau pola konsumsi elpiji 3 kg di tingkat masyarakat.
Jika hasil pantauan tersebut menunjukkan adanya kenaikan konsumsi gas melon ukuran 3 kg itu, maka rencananya Disperindagkoptan akan mengajukan penambahan kuota gas subsidi pemerintah tersebut.
Kepala Disperindagkoptan Yogyakarta Suyana, mengatakan, sebenarnya kenaikan harga jual elpiji nonsubsidi atau gas 12 kg diyakini tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi gas 3 kg.
Menurutnya, hal itu karena pada umumnya masyarakat tidak mudah berpindah mengonsumsi gas melon.
"Namun pemantauan akan tetap kami lakukan. Jika kenaikan yang kami temukan serupa dengan laporan Hiswana Migas, maka perlu ada pengajuan tambahan kuota," ujarnya, di Balaikota Yogyakarta, Rabu (10/9).
Suyana menjelaskan, pemantauan akan dilakukan hingga bulan depan. Artinya, apakah akan ada pengajuan penambahan kuota atau tidak, akan diketahui sebulan lagi.
Sementara mengenai kemungkinan terjadinya praktik ilegal penyuntikan gas, menurutnya, akan menjadi kewenangan aparat penegak hukum untuk menindaknya.
Pasalnya, hal itu merupakan perbuatan ranah pidana. Pihaknya hanya mengimbau masyarakat, agar segera melaporkannya, jika mengetahui adanya praktik semacam itu.
"Masyarakat kan lebih tahu kondisi di lapangan. Jadi laporkan saja agar ditindaklanjuti aparat," katanya.
Kenaikan harga gas 12 kg sejauh ini memang tidak diikuti kenaikan harga gas 3 kg Namun, menurut Suyana, selama ini secara umum harga gas kerap berbeda di lapangan.
Hal itu tentu menjadi kewenangan Pemda DIY untuk mengkaji ulang. Hasil kajian tersebut dapat menjadi landasan Pemda untuk membuat suatu kebijakan.
Namun di sisi lain, Suyana berharap harga jual gas bersubsidi ditentukan oleh pusat. Dengan demikian, di lapangan tidak akan terjadi perbedaan harga antarwilayah.
Perbedaan harga antarwilayah itu dapat menimbulkan kondisi rawan, terutama terkait mekanisme distribusi.
Dia mencontohkan, jika harga gas antara DIY dan Jateng berbeda, bukan tidak mungkin kerawanan terjadi di wilayah perbatasan.
Sementara itu Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir, melalui rilisnya, Rabu (10/9), menyatakan menjamin kelancaran pasokan ke konsumen.
Menurutnya, Pertamina memastikan ketersediaan suplai elpiji di masyarakat baik untuk ukuran 12 kg maupun yang 3 kg.
"Dengan meningkatkan stok LPG, status hari ini kondisi aman di atas 16 hari. Kami optimalkan jakur distribusi elpiji di SPBU dan modern outlet," katanya.
Pihaknya menyatakan juga melakukan monitoring distribusi elpiji 3 kg hingga ke pangkalan. Caranya adalah menggunakan aplikasi SIMOL3K (Sistem Monitoring Penyaluran Elpiji 3 Kilogram).
"Kami sudah sosialisasi terkait penyesuaian harga ini ke stakeholder dan pengguna LPG secara kontinyu," lanjutnya.
Rawan
Sementara itu Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, Gonang Djuliastono menilai, para pengusaha kuliner berisiko beralih ke elpiji 3 kg alias gas melon akibat lonjakan harga itu.
"Yang potensial beralih ke gas melon ya pengusaha kuliner. Butuh waktu lama bagi mereka untuk menaikkan harga kuliner dagangannya, apalagi kalau sudah punya langganan. Akhirnya ya beralih ke gas melon untuk menutup biaya produksi," kata Gonang dijumpai di Kompleks Perkantoran Pemda DIY di Kepatihan, Rabu (10/9).
Gonang khawatir, peralihan ke gas melon itu akan menciptakan kelangkaan gas di pasaran, seperti pengalaman sebelumnya.
Bagaimana tidak, jika biasanya pengusaha menggunakan tabung 12 kg, tiba-tiba menggantinya dengan empat tabung elpiji kilogram, tentu permintaannya jadi melonjak.
Padahal, gas melon ini sebenarnya ditujukan untuk kalangan ekonomi kecil. Namun, bagi pengusaha kelas menengah, peralihan ini bisa jadi upaya untuk mempertahankan operasionalnya.
"Kalau sudah dinaikkan harganya, ya tolong diusahakan jangan sampai langka," kata Gonang.
Jika tak beralih, pengusaha akan menaikkan harga produk untuk menutup biaya produksi.
Gonang memperkirakan, kenaikan harga berkisar 15 persen.
"Jika tidak, ya tentu akan ada kenaikan harga-harga produk. Ya di kuliner, perhotelan dan lain sebagainya. Mungkin naik sekitar 15 persen," kata Gonang.