Pemda Miskin Kreativitas
Memiliki potensi dan sumber daya alam berlimpah, rupanya belum menjadi modal yang cukup bagi pemerintah di 14 kabupaten/kota
- PAD Masih Jauh Lebih Kecil daripada Dana Bantuan Pusat
- Otonomi Daerah Salah Kaprah
BANDAR LAMPUNG TRIBUN - Memiliki potensi dan sumber daya alam berlimpah, rupanya belum menjadi modal yang cukup bagi pemerintah di 14 kabupaten/kota di Provinsi Lampung untuk maju dan mandiri dalam bidang keuangan.
Betapa tidak. Hingga memasuki tahun ke-14 sejak sistem otonomi daerah diterapkan pada 1999, mayoritas pemerintah kota maupun kabupaten (pemkot/pemkab) di Bumi Ruwa nJurai masih bergantung kepada dana bantuan dari pemerintah pusat untuk menyukseskan berbagai program pembangunan.
"Mayoritas organisasi pemerintahan di Lampung tidak kreatif, terutama untuk memaksimalkan potensi pendapatan asli daerah (PAD)," kata dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Lampung Habibullah Jimad SE MSi kepada Tribun, Sabtu (5/1/2013).
Habibullah mengatakan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tidak satu pun bupati atau wali kota yang memiliki terobosan berarti untuk memaksimalkan potensi dan sumber daya yang dapat menggenjot PAD. Minimnya kreatifitas tersebut, akhirnya bermuara pada sikap dependensi atau ketergantungan keuangan kepada pemerintah pusat.
Bentuk ketergantungan tersebut terlihat jelas dari target PAD sejumlah kabupaten/kota yang jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan dana alokasi umum (DAU) setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2012.
Dari data yang dikumpulkan Tribun, nampak jurang ketimpangan nilai nominal antara PAD dan dana transfer pemerintah pusat terlampau besar. Bahkan, target PAD kabupaten/kota tahun 2012 lalu, secara rerata tidak mencapai 10 persen dari total penerimaan DAU mereka pada tahun yang sama.
Misalnya, Kota Bandar Lampung menargetkan PAD sebesar Rp 289 miliar, sedangkan total DAU yang diterimanya mencapai Rp 762 miliar. Lampung Selatan, memiliki target PAD Rp 68,65 miliar atau hanya 10 persen dari total penerimaan DAU sebesar Rp 686 miliar.
Selanjutnya, Lampung Barat dan Metro memasang target PAD 2012, masing-masing senilai Rp 23 miliar dan Rp 32 miliar. Target tersebut, jauh lebih rendah dari total DAU yang mereka terima masing- masing yakni Rp 486 miliar dan Rp 330 miliar.
Kejomplangan mencolok nampak di Kabupaten Way Kanan. Daerah tersebut, hanya menargetkan Rp 12 miliar. Padahal, mereka mendapat Rp 450 miliar DAU dari Kementerian Keuangan RI.
Hal yang sama terjadi di Kabupaten Lampung Utara, Tanggamus, dan Pesawaran. Ketiga daerah itu menargetkan PAD dalam angka belasan miliar rupiah saja, tepatnya Rp 13 miliar, Rp 16 miliar, dan Rp 14 miliar. Sedangkan total DAU yang diterima bernilai ratusan miliar rupiah, yakni Rp 661 miliar, Rp 530 miliar, dan Rp 476 miliar.
Ironi juga terjadi di Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini, hanya menargetkan PAD sebesar Rp 45 miliar. Padahal, mereka mendapat gelontoran DAU hampir mencapai satu triliun rupiah, tepatnya Rp 954 miliar.
Jurang yang lebar antara PAD dan DAU juga terjadi di tiga daerah otonomi baru (DOB) yakni Tulangbawang Barat, Mesuji, dan Pringsewu. Pemerintah ketiga daerah, masing-masing mematok PAD senilai Rp 5 miliar, Rp 7 miliar, dan Rp 24 miliar. Target itu jauh lebih kecil dari DAU yang mereka terima, yakni Rp 323 miliar, Rp 294 miliar, dan Rp 443 miliar.
Inkompetensi Birokrasi
Menurut Habibullah Jimad, selain kepala daerah minim kreatifitas, kertergantungan keuangan kepada pusat juga disebabkan tidak kompetennya sumber daya manusia dalam birokrasi pemerintahan. "Inkompetensi birokrasi itu ditunjukkan dengan kuantitas PNS di setiap daerah yang cenderung banyak dan gemuk di setiap levelnya, tapi job description-nya tidak jelas. Manajemen organisasi seperti itu bukannya menambah, tapi justru menghabiskan banyak uang daerah," tukasnya.
Menurut Jimad, setiap pemkab/pemkot seharusnya memiliki standar kompetensi tersendiri untuk pegawainya. Dengan begitu, setiap pegawai bisa diberdayakan maksimal untuk berkreasi dan berinovasi demi meningkatkan PAD. "Seperti manajemen perusahaan swasta, mereka memiliki sejumlah standar kompetensi yang disesuaikan dengan kebutuhannya demi mendapat laba besar. Dengan begitu, pegawainya tetap sedikit sehingga menghemat pengeluaran, tapi bisa menghasilkan keuntungan maksimal," tuturnya.
Masih Sentralistik
Koordinator Maarif Institute Bandar Lampung Nur Rakhman Yusuf mengungkapkan, banyaknya daerah tak mampu mandiri disebabkan sikap pemerintah pusat yang belum sepenuhnya menerapkan otonomi daerah (otda). "Semangat otda belum sampai pada tingkat pendapatan. Kemampuan ekonomi belum menjadi pertimbangan," kata Yusuf, Sabtu (5/1/2013).
Padahal, tujuan otda adalah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat. Yusuf menilai, hal itu bisa terjadi apabila pemerintah daerah terlebih dahulu bisa mandiri secara keuangan sehingga kebijakannya akan langsung menyentuh masyarakat. "Semangat otda baru pada tataran meningkatkan pengelolaan pemerintahan. Belum sampai pada upaya mandiri secara keuangan," ungkap Yusuf. "Kondisi tersebut tampak dalam penetapan target PAD."
PAD merupakan pemasukan ke kas daerah yang berasal dari sumber-sumber keuangan di daerah.
Selain PAD, sumber pemasukan daerah berasal dari dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat. Alokasi terbesar dana perimbangan disalurkan melalui DAU. "Daerah yang mandiri seharusnya memiliki PAD lebih besar dibandingkan dana yang diberikan pemerintah pusat," ucap Yusuf.
PAD kabupaten/kota di Lampung yang sangat rendah, Yusuf menerangkan, terjadi karena pemerintah pusat belum menerapkan otda dalam sektor ekonomi. Pemerintah daerah hanya memiliki kebijakan pengelolaan yang terbatas dalam sektor ekonomi.
"Katakanlah di Tulangbawang atau Lampung Tengah. Di sana, banyak industri besar berdiri. Tetapi, sejauh mana kontribusinya pada daerah. Pajak- pajak ditarik dulu ke pusat, baru dibagikan ke daerah," terang Yusuf.
Hal itu menjadikan rentang kendali pengelolaan keuangan menjadi panjang. Sementara, masyarakat harus merasakan imbas negatif dari keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut. "Kendaraan pabrik yang bolak-balik membuat jalan rusak. Masyarakat yang melewati jalan yang sama turut terkena imbas. Banyak perusahaan besar tetapi masyarakat sekitarnya masih hidup pas-pasan," papar Yusuf.
Rentang kendali sektor keuangan yang mayoritas masih sentralistik, Yusuf menjelaskan, menjadikan daerah terus tergantung pada pemerintah pusat secara ekonomi. "Kalau seperti itu, bagaimana pemerintah daerah bisa optimal melayani masyarakat," kata Yusuf.
Sumber Kecil
Berdasarkan catatan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah (BPMPPTD) Lampung, total investasi di Lampung pada 2004-2011 mencapai Rp 27,83 triliun. Jumlah itu terdiri dari penanaman modal asing (PMA) sebesar 1,28 juta dolar AS dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebanyak Rp 15,4 triliun..
Dosen FE Universitas Lampung (Unila) Asrian Hendicaya mengatakan, pemerintah pusat baru memberikan sumber-sumber pendapatan daerah yang kecil pada daerah. Sementara, sumber-sumber pendapatan bernilai besar masih ditarik pemerintah pusat. "Misalnya, PBB (pajak bumi dan bangunan) yang ditarik hanya sektor perkotaan dan perdesaan yang jumlahnya kecil. Sementara, PBB sektor perkebunan yang jumlahnya besar masih ditarik pemerintah pusat. Padahal, banyak perusahaan perkebunan di Lampung," jelas Asrian.
Pembagian pendapatan tersebut baru dibagikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Asrian menerangkan, pemberian sumber pendapatan daerah yang kecil memperlihatkan pemerintah pusat belum membuat daerah menjadi mandiri dalam sektor keuangan. "Sesuai tuntutan otda, ada bagi hasil yang diberikan ke daerah. Itu melalui dana perimbangan. Tetapi, daerah penghasil harus berbagi juga dengan daerah lain," tutur dosen Fakultas Ekonomi Unila itu.
Yusuf mengungkapkan, penerapan otda seharusnya dilakukan secara menyeluruh termasuk sektor keuangan. Kalaupun sistem bagi hasil tetap diterapkan, kontribusi terbesar harus tetap diberikan pada daerah penghasil. "Sumber pendapatan daerah dari industri-industri besar di daerah seharusnya berkontribusi besar menjadi pendapatan daerah tersebut. Karena, masyarakat daerah yang merasakan imbas terbesar. Keberadaan industri juga seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat," papar Yusuf.(rez/rid)
Baca Juga :
- Soal Duduk Mengangkang, Ini Kata Wali Kota 9 menit lalu
- Mengaku Jual Ganja untuk Biaya Istri Melahirkan 11 menit la