Sebaiknya Mundur Dia Gagal Jadi Pendidik
Komisi C DPRD Kota Cirebon mendesak Kepala SMPN 10 Cirebon mundur dari jabatannya
TRIBUNNEWS.COM,CIREBON -- Komisi C DPRD Kota Cirebon mendesak Kepala SMPN 10 Cirebon mundur dari jabatannya. Pasalnya, dia dianggap gagal mendidik siswa karena memberikan sanksi fisik bagi siswa yang melanggar tata tertib.
Padahal sanksi fisik tidak diperkenankan dalam dunia pendidikan. Sanksi fisik sama sekali tidak mendidik. "Sebaiknya mundur karena dia telah gagal sebagai pendidik," kata Udin Saefullah, anggota Komisi C DPRD Kota Cirebon, Jumat (11/5).
Ketua Komisi C, HP Yuliarso, mengaku Komisi C telah melakukan klarifikasi ke SMPN 10. Ditemani salah satu anggota, Taufik Pratidina, dia mendatangi kampus SMPN 10 kemarin pagi dan langsung berbincang dengan kepala sekolah dan guru.
Yuliarso pun berpendapat, pemberian sanksi fisik harus dihapus. "Pemberian hukuman fisik tidak pantas dalam dunia pendidikan, karena itu harus dihapus," kata Yuliarso.
Untuk guru yang memberikan sanksi fisik kepada siswanya, Yuliarso mendesak Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Cirebon menjatuhkan sanksi tegas. Jika tidak, dikhawatirkan dia akan mengulangi dan lama-kelamaan terbiasa dengan pemberian sanksi fisik.
Seperti diberitakan sebelumnya, Khumaedi, siswa kelas VIII SMPN 10 Cirebon, meninggal setelah mendapat hukuman dari guru Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) gara-gara tak membawa pot dan tanamannya sebagai tugas praktik pelajaran PLH. Khumaedi disuruh berlari 15 putaran di lapangan basket sekolah, tapi belum sampai 15 putaran Khumaedi malah jatuh pingsan dan akhirnya meninggal.
Ditemui di sekolahnya, Kepala SMPN 10 Yetti H mengatakan apa yang terjadi pada Khumaedi bukan hukuman. Itu merupakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan siswa tersebut.
"Kan sudah menjadi aturan ya, bagi yang tak mengerjakan tugas PLH itu harus lari lima belas putaran di lapangan basket. Nah, ternyata Khumaedi dan teman-temannya itu tak mengerjakan tugas," kata Yetti, kemarin.
Yetti mengaku pihaknya sama sekali tak punya niat mencelakai siswanya. Menurut dia, sanksi itu diberikan tiada lain agar siswa jera sehingga tidak kembali melakukan pelanggaran. "Agar siswa menjadi disiplin," ujarnya.
Tentang sanksi squat jump dan push up bagi siswa yang terlambat, Yetti mengakui. Namun ia kembali menegaskan, sanksi itu dimaksudkan agar siswanya disiplin dan paham terhadap konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.
Namun, ujarnya, kejadian Rabu (9/5) siang akan menjadi pelajaran berharga untuknya dan guru-guru SMPN 10. Dia pun akan mempertimbangkan penghapusan sanksi fisik terhadap siswa yang melanggar.
Guru PLH, Windi, mengaku tidak tahu persis saat Khumaedi jatuh pingsan. Sebab, ketika kejadian, dia sedang berada di ruang kepala sekolah guna meminta tanda tangan. Siswa pun ditinggalkan di kelas untuk praktik menanam, dan siswa yang dikenai hukuman dibiarkan berlari di lapangan basket.
"Perlu kami luruskan juga bahwa ketika kejadian tidak hanya Edi (panggilan Khumaedi) sendiri. Ada teman-temannya yang lain yang juga ikut diberi sanksi. Itu tugas kelompok dan ternyata kelompok siswa laki-laki kompak tak mengerjakan tugas," kata Windi.
Ketika itu, kata dia, ada delapan siswa yang diberi sanksi lari 15 putaran di lapangan basket. Mereka satu kelompok dan tidak mengerjakan tugas PLH. Sementara para siswi berada di kelas untuk praktik menanam.
Windi mengaku sebenarnya tidak biasa meninggalkan siswa belajar. Namun karena harus meminta tanda tangan kepsek guna melengkapi berkas ke Disdik, Windi pun terpaksa meninggalkan siswa.
"Tak lama. Tapi pas saya keluar, siswa perempuan pada lari bilang Edi pingsan," kata Windi sambil berkaca-kaca.