Ramadan 2019
Setelah Buka Puasa Hati Manusia Selayaknya Terpaut Dalam Dua Kegelisahan
Seluruh umat berharap yang terbaik dari bulan terbaik. Tak diragukan lagi, ada harapan besar (raja) berpadu dengan kekhawatiran (khauf)
Kegembiraannya itu diperoleh dengan keistiqamahan dan ketundukan kepada Tuhan. Dan harapannya dibangun dengan kepatuhan, bukan dengan angan-angan kosong.
Sementara mereka yang amalannya tertolak akan menutup pintu tawanya. Dia mulai sadar dan menumbuhkan takut (khauf) dengan kesedihanya, dan mengekspresikan harap (raja) dengan menutup tertawanya untuk menghadang amalan-amalan selanjutnya.
Ini sejalan dengan ungkapan Syah Al-Kirmani, “Tanda adanya harapan dengan ketaatan yang baik kepada Tuhan.”[6]
Berharap disertai amalan terbaik yang sanggup dia lakukan, karena amalan menjadi simbol optimisme bagi orang yang memiliki harapan. Seperti sepenggal perbincangan Ahnal bin Qais dan seorang kakek tentang puasa. Ahnal bin Qais berkata:
“Engkau sudah tua, dan puasa itu melemahkanmu, wahai Kakek.” Sang Kakek menjawab, “Ketahuilah, aku ini sedang mempersiapkan perjalanan jauh. Dan bersabar atas ketaatan kepada Allah itu lebih ringan ketimbang bersabar terhadap azab-Nya.” Demikian maksud puasa batin menurut al-Ghazali.[7]
Walaupun begitu, Al-Ghazali tetap memberi warning dalam menyikapi takut (khauf) dan harap (raja).[8]
Dia mengatakan bahwa ungkapan “Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Maka kami bisa berharap pada ampunan-Nya” seringkali disalahpahami.
Tak jarang kata ini justru menjadi ketertipuan orang-orang beriman yang durhaka. Mereka hanya berharap tanpa melanggengkan amalan.
Jika harapan tidak didahului amal, berarti itu merupakan bentuk ketertipuan. Harapan (raja) itu ada tiada lain untuk mendinginkan panasnya takut (khauf) dan putus asa. Namun yang terpenting, menggabungkan keduanya tanpa melalaikan dorongan untuk mencari amalan berlimpah.
Pada dasarnya, ungkapan yang dimaksud Al-Ghazali di atas merupakan bentuk harapan (raja) terbaik, namun disalahpahami dengan hanya harapan tapi mengabaikan amal. Bisa jadi ini karena mengandalkan kebaikan dan kezuhudan para pendahulunya.
Setan membisikkan tipuan melalui runtutan analogi; siapa yang mencintai seseorang, dia juga mencintai anak-anaknya. Dan Allah mencintai nenek moyang mereka, berarti Dia juga mencintai mereka.
Dengan itu, mereka tak perlu menjalankan ketaatan dan mengandalkan keyakinan ini, hingga tertipu karena Allah SWT.
Dengan mengandalkan nasab dan kedekatan, hingga seseorang mengandalkannya tanpa memperhatikan amalannya sendiri.
Ini, kata Al-Ghazali, seperti orang yang menganggap dirinya bisa kenyang karena orang tuanya telah makan; atau dahaganya bisa hilang sebab orang tuanya telah minum.[9]
Kesesuain antara perhatian Al-Ghazali dalam masalah ini seperti pengalaman perjumpaan Imam Thawus dan Imam Ali bin Al-Husain.[10]