Kamis, 2 Oktober 2025

Ramadan 2019

Mutiara Ramadan: Roh Agama

Dalam kehidupan di desa, jika orang tidak mencuri atau berbuat yang hina, itu didasari oleh penghayatan norma agama yang telah melembaga.

Editor: Dewi Agustina
TRIBUN MEDAN/Riski Cahyadi
Santri Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah membaca AlQuran ketika melaksanakan tadarus massal pada Ramadan 1439 H, di Medan, Sumatera Utara, Senin (21/5/2018). Kegiatan yang diikuti sedikitnya 2.500 santri tersebut, merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan pada bulan Ramadan.TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI 

Samar-samar saya masih teringat syairnya: Eling-eling sira manungsa, nggonmu bungah eneng donya malaikat juru pati, nglirak-nglirik maring sira. Nggone nglirik malaikat, arep nyabut nyawanira Nggone nyabut angenteni, dawuhe kang Maha Suci.

(Ingatlah hai manusia, engkau bersenang-senang hidup di dunia malaikat maut senantiasa mengintaimu. Dia mengintai untuk mencabut nyawamu. Kapan waktunya, hanya menunggu perintah Tuhan yang Maha Suci).

Tidak hanya di kampungku, di negeri Arab tempat Islam pertama lahir dan berkembang pasti terjadi hubungan dialektis dan akulturatif antara nilai-nilai Islam dan budaya Arab.

Apa yang disebut makanan, pakaian, dan nyanyian Arab sifatnya pasti kultural.

Problem orang-orang desa muslim seperti masyarakat saya lalu menganggap apa yang serba-Arab itu baik dan mesti sejalan dengan Islam.

Padahal tidak selalu demikian halnya.

Tapi saya selalu menghargai unsur budaya yang baik-baik dari mana pun datangnya.

Tanpa kehadiran agama pun setiap masyarakat atau bangsa memiliki kebaikan universal.

Sebaliknya, masyarakat yang mengaku agamis, tak akan terbebas dari prilaku menyimpang yang dikecam oleh agama.

Jadi, baik agama maupun budaya karena yang memahami dan melaksanakan adalah manusia, pasti pada praktiknya memiliki cacat.

Namun realitas ini tak akan mengurangi kemuliaan agama.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved