Ramadan 2019
Dua Wasiat Utama Sunan Gunung Jati yang Selalu Diingat Saat Ramadan
Sosok Sunan Gunung Jati diingat karena beberapa wasiat utamanya sudah sekian lama menjadi semacam tuntunan sakral yang diwariskan turun temurun.
Kalimat yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Cirebon khususnya dan para peziarah dari kota lain yang datang ke tempat ini, diyakini merupakan wasiat terakhir Sunan Gunung Jati tak lama menjelang beliau wafat.
Secara harfiah arti dari wasiat tersebut ialah, “Saya titip tajug (sejenis mushalla atau langgar yang dipergunakan pula sebagai tempat aktivitas mengaji) dan fakir miskin.”
Lewat wasiat dimaksud, Sunan Gunung Jati berpesan kepada umat Islam secara umum agar sepeninggal beliau keberadaan tajug dan fakir miskin senantiasa diopeni, dijaga, dan diperhatikan.
Dengan kata lain jangan sampai keduanya diterlantarkan begitu saja.
Namun jika ditinjau dalam konteks yang lebih luas di masa kita saat ini, maka maksud dari kalimat tersebut bukan lagi semata-mata wasiat agar kaum Muslimin menjaga mushalla dan langgar atau surau saja.
Kaum muslim utamanya diminta menjaga pondok pesantren, madrasah diniyah, majlis taklim, dan forum-forum atau perkumpulan lainnya yang di dalamnya terdapat pembahasan ilmu-ilmu agama.

Demikian pula yang dikehendaki dari istilah fakir miskin, bukan sekadar para pengemis yang meminta-minta, melainkan terutama adalah para santri dan pelajar yang benar-benar sedang menimba ilmu dan memerlukan bantuan demi kelangsungan studinya.
Artinya, terhadap tempat-tempat untuk mengaji sekaligus para santrinya, Sunan Gunung Jati menitipkan keduanya supaya umat Islam sepeninggal beliau ikut merawat, membantu dan menjaga kelestariannya.
Mungkin karena adanya wasiat dari Sunan Gunung Jati—yang meskipun sekilas tampak sederhana, namun maknanya sangat dalam ini, maka di beberapa daerah di Cirebon, masyarakat yang berdomisili di sekitar pesantren sudah terbiasa memperlakukan dengan begitu baik para santri.
Salah satu contoh adalah ketika bulan Ramadan tiba. Saat itu tak sedikit warga masyarakat yang bersedekah dan membayar zakat fitrah dengan cara diberikan dan diantar langsung kepada para santri yang masih berada di pesantren.
Itu dilakukan tidak lain karena mereka teringat dan begitu menjaga pesan atau wasiat Sunan Gunung Jati tersebut.
Apalagi, selain wasiat pertama di atas, sebagian masyarakat Cirebon juga mengenal mutiara pesan lain yang juga diyakini bersumber dari Syekh Syarif Hidayatullah.
“Sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat,” yang artinya “menjadi kaya bukan untuk pribadi, menjadi miskin, bukan untuk menjadi beban bagi orang lain.”
Itulah dua wasiat atau pesan Sunun Gunung Jati yang substansinya sama dan saling menguatkan.
Bahwa di samping mengingatkan umat Islam supaya nguri-uri atau melestarikan tempat ibadah dan majlis tempat menimba ilmu, di sisi lain juga mendorong kepada golongan orang yang kuat dan mampu secara ekonomi agar senantiasa memiliki empati dan kepedulian kepada fakir miskin atau kelompok yang lemah dalam berbagai seginya, baik lemah secara ekonomi maupun ilmu.