Ramadan 2013
Menjaga Hati
HATI merupakan bagian diri manusia yang misterius. Karena kemisteriusannya, penggunaannya pun seringkali sangat simbolik
The more You give, the more You recieve. Tak ada dermawan jatuh miskin, justru rezekinya makin berkah dan bertambah. Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang sedang menabung dengan bunga berlipat ganda, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Jadi, menjalani hidup mesti "hati-hati." Mesti didengarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran harus juga digunakan, namun mesti didampingi hati. Tanpa didampingi hati nurani, kecerdasan yang berdampingan nafsu serakah bisa berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih.
Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan. Misalnya, bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu keterampilan tangan. Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar. Tapi jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab.
Mobil dicipta bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tapi mempermudah silaturahim, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak-anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini makin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia maupun Tuhan.
Sadar bahwa yang dimohon adalah perhatiannya, maka mestinya yang diberikan adalah hati. Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati. Ingat kata "hati" sampai diulang dua kali, maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati.
Lagi-lagi, betapa dalam dan bijaknya orangtua yang menyelipkan kata "hati" dalam Bahasa Indonesia. Saya belum tahu, apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu. Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa.
Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus dalam berdoa. Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrem itu bukanlah sembahyang, melainkan olahraga menyerupai gerak sembahyang.
Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan tahun masih terasa segar dan menyegarkan ketika dibaca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika dibaca?
Konon, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan, dan kecerdasan hati. Dari lubuk hati terdalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya.
Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang ditulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Mari kita berhati-hati menjaga hati. (*)