Pilpres 2019
Miliki Populasi Besar, Suara Pemilih dari Generasi Milenial dalam Pilpres 2019 Dianggap Krusial
Ia mengatakan generasi berusia 15-34 tahun tersebut memiliki jumlah populasi yang cukup besar di Indonesia, yakni 34,45 persen
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Forum Indonesia Muda Cerdas, Asep Ubaidilah, menilai pentingnya suara dari generasi milenial di Pilpres 2019 mendatang.
Ia mengatakan generasi berusia 15-34 tahun tersebut memiliki jumlah populasi yang cukup besar di Indonesia, yakni 34,45 persen.
Baca: Jawab Pak Haji Jokowi, Nenek Parwinah Dapat Hadiah Sepeda dari Jokowi
"Dalam konteks politik, suara pemilih milenial dalam Daftar Pemilih Tetap KPU proporsinya sekitar 34,2 persen dari total 152 juta pemilih dan keberadaannya kerap disebut bakal menentukan arah politik bangsa Indonesia ke depan," ujar Asep, di Jakarta, Sabtu (15/9/2018).
"Sehingga banyak yang di pasang calon-calon pemimpin dari daerah sampai ke pusat mengambil peran dengan figur muda yang menyesuaikan gaya milenial," imbuhnya.
Walaupun demikian, ia melihat generasi milenial tidak selalu mendukung calon yang berasal dari generasi mereka.
Ada beberapa faktor, kata dia, terkait kapabilitas dan kecenderungan untuk lebih memilih incumbent yang berprestasi, serta tidak peduli berapapun usia calon pemimpin yang harus dipilih.
Kemudian, dalam konteks perilaku pemilih, kelompok milenial tergolong jenis pemilih rasional atau kritis.
Akan tetapi, berkenaan dengan Pilpres 2019 nanti, pola pikir kelompok milenial terkait partisipasi dalam menentukan pilihan dapat saja bisa berubah dan tidak hanya bersikap apatis.
"Kita sangat optimis, sebagai contoh untuk provinsi DKI Jakarta saja sebanyak 44,78 persen lebih dari sekitar 7,4 persen juta penduduk DKI yang berkemungkinan memilih ada dalam kategori generasi milenial," kata dia.
Lebih lanjut, Asep menyebut ada 3 kelompok partisipasi politik generasi milenial.
Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi terhadap politik bahkan menarik diri dari proses politik yang ada. Biasanya kelompok seperti ini kurang mengakses informasi dan terkesan terlalu eksklusif.
Kedua, kelompok spektator yakni mereka yang kurang tertarik dengan politik tetapi terkadang masih kerap menggunakan hak pilihnya.
Ketiga, kelompok gladiator yaitu generasi milenial yang sangat aktif di dalam politik seperti aktivis partai, aktivis organisasi dan milenial yang aktif sebagai pekerja kampanye.
Jika merujuk hal diatas, pemilih milenial memang cenderung masuk pada kelompok apatis. Namun demikian, apatisme pemilih milenial disini bukanlah apatis yang buta dan skeptis pemikiran.
"Pemilih milenial lebih tepat disebut sebagai kelompok 'apatis yang kritis'. Mereka lebih suka berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional, karena bagi mereka makna partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu," jelas Asep.
Ia mengatakan, generasi milenial tidak serta merta menggunakan hak pilihnya terhadap calon pemimpin yang sesuai dengan generasinya.
Baca: Menteri Yasonna Utus Irjen Kemenkumham Cek Sel Novanto di Lapas Sukamiskin
"Generasi muda atau milenial, kata dia, lebih memilih pemimpin yang memiliki creadibilitas, memiliki visi masa depan Indonesia, sederhana, jujur dan dicintai rakyat, memiliki kapabilitas serta tentunya akan memilih pemimpin yang sudah terbukti bekerja dan berprestasi," kata Asep.
"Acara ini salah satunya adalah untuk memberikan pendidikan politik, pemahaman tentang demokrasi dengan kaitannya pemilu 2019 nanti. Penggunaan hak politik generasi muda dengan sehat dan cerdas serta memberikan ruang terhadap generasi-generasi milenial untuk memberikan dukungan terkait pemilu 2019 yang aman, damai, dan sejuk," pungkasnya.