Pilkada Serentak 2020
Dapat Pesan dari Tokoh Nasional, Ketua DKPP Diminta Ajukan Penundaan Pilkada ke Presiden
Muhammad mengaku mendapat pesan dari salah seorang tokoh nasional yang menyarankan dirinya berbicara dengan Presiden.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad mengaku mendapat pesan dari salah seorang tokoh nasional yang menyarankan dirinya berbicara dengan Presiden untuk kembali menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
Kata Muhammad, pesan itu disampaikan dengan turut menjabarkan sejumlah pertimbangan.
"Subuh tadi saya mendapat Whatsapp dari seorang tokoh. Kalau saya menyebut tokoh ini saya memastikan kita semua tahu tokoh ini. Dia mengatakan Prof Muhammad, segera sampaikan ke Presiden tunda Pilkada ini, dengan sejumlah pertimbangan," kata Muhammad dalam acara seminar nasional 'Mewujudkan Pilkada Serentak 2020 yang Berkualitas dan Berintegritas' secara daring, Selasa (15/9/2020).
Baca: Sikap Resmi PDIP, Pilkada Tetap 9 Desember, Tidak Mau Ditunda Lagi
Berkaitan dengan usulan itu, DKPP bakal mendiskusikannya bersama penyelenggara pemilu lain yakni KPU dan Bawaslu.
Namun lebih lanjut Muhammad menjelaskan penundaan Pilkada tak bisa dilakukan sepanjang pemerintah pusat dan DPR tetap memilih tanggal 9 Desember sebagai opsi optimis.
"Tapi sepanjang pemerintah di tingkat pusat, dan DPR itu tetap mengatakan 9 Desember sebagai opsi optimis, maka tidak ada pilihan," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI Abhan menjabarkan bahwa terdapat sejumlah prasyarat menggelar Pilkada Serentak di tengah pandemi.
Diantaranya, penyelenggara pemilu dan pemerintah maupun DPR punya kerangka hukum yang kuat selaras dengan kondisi pandemi.
Kemudian harus adanya dukungan anggaran yang cukup mengingat penyelenggara pemilu membutuhkan alat pelindung diri dan sarana penerapan protokol kesehatan.
"Ini sebagai konsekuensi dari tahapan Pilkada di tengah pandemi. Maka itu sebuah keharusan," kata Abhan.
Selanjutnya yakni kesiapan teknis penyelenggaraan seperti sumber daya penyelenggara di tingkat ad hoc.
Sebab Bawaslu mengaku merasa kesulitan merekrut tim ad hoc di tengah pandemi.
"Orang keluar berkomunikasi tatap muka saja takut, ini ada orang yang harus jadi penyelenggara di tingkat ad hoc. Tidak mudah menyiapkan sumber daya yang cukup banyak," tuturnya.
Terakhir, yaitu penerapan protokol kesehatan yang benar - benar ketat.
Khusus untuk prasyarat ini, Bawaslu mencatat ada ratusan bakal calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan saat tahapan pendaftaran kepala daerah pada 4 - 6 September 2020 kemarin.
Kejadian itu diharapkan jadi perhatian bersama karena ke depan masih banyak tahapan yang akan dilalui.
Seperti pengumuman penetapan calon, pengundian nomor urut dan pelaksanaan kampanye selama 71 hari.
"Saya kira menjadi catatan kami penyelenggara dan bahan evaluasi karena ke depan masih banyak tahapan yang berpotensi adanya kerumunan massa," pungkas Abhan.