
Laporan wartawan Tribunnews.com Deodatus Pradipto dari Moskow
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Moskow, ibu kota Rusia, punya citra buruk sebagai suatu destinasi wisata populer di dunia. Masyarakatnya terkenal dingin dan kurang tanggap dalam memberikan bantuan kepada wisatawan asing.
Persepsi seperti itu yang saya pegang sebelum bertolak ke Moskow untuk meliput Piala Dunia 2018. Persepsi itu kemudian berubah begitu saya menginjakkan kaki di Moskow, Senin (18/6) pagi waktu setempat.
Dari Bandara Domodedovo menuju Jalan Ostozhenka, saya memilih menggunakan moda transportasi kereta. Selain lebih murah, saya bisa terbebas dari kemacetan Moskow yang disebut-sebut menandingi kemacetan Jakarta.
Hampir dua jam sejak berangkat dari Bandara Domodedovo, saya akhirnya tiba di Jalan Ostozhenka yang terletak di Distrik Yakimanka, Moskow.
Bermodalkan alamat yang tertera di bukti pembayaran hostel tempat saya akan menginap, saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui soal posisi hostel itu. Nihil. Tidak ada satupun yang bisa menunjukkan kepada saya di mana hostel itu meskipun lokasinya dekat dari stasiun Metro.
Setelah berjalan 500 meter dari stasiun, saya melihat nama dan nomor gedung tempat hostel saya. Namun demikian, tidak ada satupun papan yang menunjukkan nama hostel tempat saya akan menginap.
Sambil membaca alamat yang tertera, saya mematung di pedestrian. Tiba-tiba saya terkejut ada suara laki-laki dari kejauhan bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris.
"Apa yang kamu cari," bunyi pertanyaannya dari seberang jalan.
Seorang pria mengenakan setelan jas berjalan menghampiri saya. Sebuah tas tangan hitam dari kulit dia genggam menggunakan tangan kirinya. Posturnya tinggi dan tidak gemuk. Rambutnya beruban dan dia mengenakan kacamata.
Sambil menunjukkan alamat yang tertera, saya bercerita kepada pria itu saya mencari hostel ini, namun tidak berhasil menemukan. Dia meminta saya berjalan ke bagian belakang gedung untuk bertanya kepada seseorang di gedung itu.
Saya tidak berhasil menemukan seseorang di sana. Tiba-tiba pria itu menghampiri saya lagi dan bilang hostel yang dimaksud mungkin apartemen. Di sebuah pintu di gedung itu dia melihat secarik kertas tertempel di pintu. Di kertas itu tertera tulisan apartemen dan nomor yang bisa dihubungi.
"Di sini biasa seperti itu. Kadang mereka ada di dalam gedung, namun sebenarnya mereka ada dan tidak fiktif," kata pria tersebut.
Dia kemudian menanyakan nomor telepon hostel kepada saya. Dia bertanya apakah saya punya telepon genggam atau tidak. Saya bilang punya, namun dia memutuskan untuk membantu saya menelepon hostel menggunakan telepon genggamnya.
"Saya bekerja di gedung seberang. Saya jadi penasaran" kata dia.