Piala Dunia 2010
Menelusuri Jejak Kota Emas Johannesburg
JEJAK

Soweto kemudian berhenti di sebuah gerobak kayu di depan cabang lorong diagonal yang menembus dinding sebelah kanan kami. Gerobak uzur itu penuh dengan batu-batu seukuran helm orang dewasa. Bongkahan batu itulah yang akan diambil emasnya.
”Satu ton batu hanya menghasilkan 4 gram emas,” ujar Soweto.
Fondasi Johannesburg
Nah, limbah bebatuan setelah diambil emasnya itulah yang menjadi fondasi Johannesburg modern. Jika menuju ke pusat kota dari arah Bandara OR Tambo, di sebelah kiri jalan ada singkapan-singkapan bukit dengan material berwarna kekuningan. Sebagian ditambang untuk diambil pasirnya.
”Pasir kekuningan itu berasal dari penambangan emas kuno. Johannesburg ini berdiri di atas emas,” ujar Linda, pemandu wisata kami.
Kembali ke dalam lorong penambangaan emas, akhirnya kami sampai di ujung goa. Di sana ada lorong lain yang posisinya diagonal mengarah ke permukaan tanah. Lorong itulah yang dipakai oleh para penambang pada masa lampau untuk masuk dan keluar lokasi penambangan. Lantai lorong itu dibentuk undak-undakan kecil untuk mempermudah langkah kaki.
”Kalau ada yang mau keluar lewat sini silakan, hanya perlu waktu dua jam,” ujar Soweto sambil nyengir.
Penelusuran selanjutnya adalah peleburan bijih emas menjadi balok emas cetakan. Proses peleburan ini dikemas menjadi tontonan yang menarik di sebuah ruangan teater mini.
Setelah menjelajahi sejarah di Gold Reef City, para wisatawan bisa bersantai di kedai-kedai kopi atau restoran siap saji. Jika ingin mencari cendera mata, banyak kios yang menjual pernak-pernik, mulai kaus, butiran emas, hingga miniatur penambang.
Gold Reef City tempat yang tepat untuk mengawali perjalanan di Johannesburg yang kini telah menjadi kota metropolitan dan tuan rumah Piala Dunia 2010. (*)