Jumat, 3 Oktober 2025

Lindungi Hasil Riset dan Penelitian Kampus Melalui Pembentukan Badan Perlindungan HAKI

Selain mendorong pendirian sentra HAKI, Lily juga mendorong akademisi-peneliti untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan disiplin ilmu

Editor: Eko Sutriyanto
pixabay
Ilustrasi peneliti 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dan akademisi di tiap kampus diminta membentuk badan perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) yang sesuai Undang-undang. 

Hal tersebut dilakukan demi melindungi hasil karya riset dan penelitian di kampus-kampus. 

“Perguruan tinggi dan lembaga litbang itu wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai UU 18/2002 pasal 18 ayat 3,"ujar Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, Prof Lily Surraya Eka Putri dalam pernyataannya kepada Tribun, Senin(30/11/2020).

Selain mendorong pendirian sentra HAKI, Lily juga mendorong akademisi-peneliti untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan disiplin ilmu. 

Baik dengan pihak industri, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Baca juga: Penelitian Ahli Genetika Temukan Fakta Baru, Mutasi Virus Covid-19 Tak Percepat Penularan

Apalagi, berdasarkan agenda riset nasional 2020-2024, pemerintah saat ini sangat terbuka dan mendukung terhadap berbagai kegiatan riset dan inovasi.

“Dengan kondisi yang semakin berkembang dan kompetitif, mendatang harusnya riset itu berbasis standar biaya keluaran dan menuju paten. Ini sebenarnya sudah didukung oleh UU Cipta Kerja,” kata Lily. 

Lily juga menyoroti dua undang-undang penting yang berubah dalam UU Cipta Kerja. Yakni UU 13/2016 tentan Paten dan UU 20/2016 tentang Merek. Dalam UU Cipta Kerja, lanjut Lily, tekait paten dan merek lebih dimudahkan dalam proses mengurusnya.   

“Prinsipnya, aturan paten dan merek (dalam UU Cipta Kerja) lebih dimudahkan. Ada 5 aturan yang diubah, yang prinsipnya ada kegunaan praktis,” imbuh lulusan University of New South Wales Australia ini.

Baca juga: Kemendikbud Beberkan Empat Prinsip Kampus Bebas Kekerasan Seksual

Lebih jauh Lily menerangkan, bahwa prinsip itu mengandaikan aktivitas riset dan inovasi harus berkolaborasi dengan dunia industri.

Kemudian dari sisi waktu pengurusan izin paten dalam UU Cipta Kerja jauh lebih singkat.

“Pengalaman saya dengan rekan peneliti, untuk urus paten sederhana itu sangat lama sekali.

Tapi dengan adanya perubahan ini (UU Cipta Kerja) paling lama hanya enam bulan dari permohonan sampai substansi, dan menteri harus memutuskan itu,” ungkap Lily.

Lily lalu menyimpulkan, perubahan  itu jauh lebih memudahkan untuk komersialisasi dan hilirisasi hasil penelitian perguruna tinggi dan akan berimplikasi positif pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

“Itu mendorong UMKM lebih giat menghasilkan inovasi dan harusnya UMKM ada kolaborasi dengan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi ini memberikan alih teknologi dan juga pendampingan,” katanya. 

Lily berharap alih teknologi kepada UMKM ini tidak perlu ada biaya yang ditanggung pelaku UMKM, karena itu untuk kepentingan kemajuan UMKM dan demi kemaslahatan umat.

Lily membeberkan bahwa aktivitas riset teknologi dan sains secara akademis sangat banyak.

Namun, sangat sangat sedikit mempedulikan paten, komersialisasi dan memberikan pemasukan materi pada perguruan tinggi. 

Untuk itu, tambah Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta ini, dunia akademis harus menyambut kebijakan pemerintah yang menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mendukung pengembangan riset dan inovasi ke perguruan tinggi. 

“Ada satu hal yang harus digarisbawahi dalam UU Cipta Kerja, yakni BUMN mendapatkan penugasan khusus untuk pengembangan-pengembangan riset dan inovasi di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga Litbang (penelitian dan pengembangan),” ujar Lily.(Tribunnews/Willy Widianto) 

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved