Transisi Sekolah ke Dunia Kerja, Simak 1001 Langkah Sukses di Masa Depan
Sebagai remaja, kita harus memiliki pandangan tentang masa depan, sudahkah kita yakin dan mempersiapkan diri agar bisa mendapatkan pekerjaan?
TRIBUNNEWS.COM - Usia remaja enggak hanya melulu soal pacar, gebetan, mantan atau sahabat, ya.
Sebagai remaja, kita harus memiliki pandangan tentang masa depan, termasuk sudah-kah kita yakin dan mempersiapkan diri agar bisa mendapatkan pekerjaan layak di masa depan?
Berdasarkan survei yang CewekBanget.ID & HAI Online lakukan pada 2.442 remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-24 tahun, 80,4% remaja percaya diri mendapatkan pekerjaan layak di masa depan karena mereka punya kompetensi atau keterampilan khusus.
Sementara 19,6% tidak yakin mendapat pekerjaan yang layak di masa depan karena jumlah pencari kerja terus meningkat dan kompentensi mereka tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
“Kalau aku percaya diri karena nilai akademik yang lumayan bagus untuk menjamin masa depanku nanti," kata Theresia Ribka, Siswi SMK Waskito Pamulang, Jurusan Multimedia.
“Sempat enggak percaya diri karena enggak ada koneksi dan persaingan kerja semakin ketat," ujar Abiel Kristianto, Junior Arsitek, Alumni Universitas Tarumanegara.
“Kurang percaya diri karena persaingan kerja lebih banyak," terang Silvia Wardatul, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta, Jurusan Jurnalistik.
Jumlah Angkatan Kerja
Berbicara soal persaingan pencari kerja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2019 sebanyak 133,56 juta orang.
Jumlah ini naik 2,55 juta orang dibanding Agustus 2018.
Sementara itu, angka pengangguran di Indonesia tahun 2018 mencapai 7 juta jiwa dengan 22,48% adalah remaja berusia 15-24 tahun yang sedang tidak sekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan.
“Di dunia kerja, terjadi missmatch atau ketidaksesuaian antara permintaan terhadap pekerja terampil dari industri dengan kualifikasi pekerja yang tersedia. Ini menimbulkan kontribusi terhadap pengangguran, terutama pengangguran muda," terang Tauvik Muhamad, Manajer Program Pengembangan Keterampilan ILO Jakarta.
Jika ada ketidaksesuaian antara permintaan terhadap pekerja terampil dari industri dengan kualifikasi pekerja yang ada, apakah dunia pendidikan menjadi salah satu penyebabnya?
Meski lembaga pendidikan telah berupaya mempersiapkan siswa masuk ke dunia kerja, usaha tersebut seolah belum maksimal.
Terlihat dari hasil survei pada 2.442 responden, hanya 1.283 responden yang setuju kalau sekolah dan/atau perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu sudah mempersiapkan mereka masuk ke dunia kerja.
“Ada lah satu dua poin dari sekolah yang gue rasa masuk ke dalam dunia kerja gue saat ini. Tapi terbilang kurang,” ujar Dio Firdaus, Alumni SMA Negeri 100 Jakarta Timur.
Sebanyak 47,3% responden merasa lembaga pendidikan tempat mereka belajar tidak memberikan cukup ilmu untuk terjun ke dunia kerja.
Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan lembaga pendidikan untuk mempersiapkan siswa sebelum masuk ke dunia kerja.
Salah satunya melalui berbagai program transisi yang melibatkan industri.
Hal ini terlihat dari remaja yang percaya diri mendapat pekerjaan layak di masa depan, 89% di antaranya ternyata pernah melakukan kegiatan transisi seperti magang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2016, pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahilan tertentu.
Manfaat magang untuk mendapat keterampilan dan menunjang karier di masa depan dirasakan betul oleh 92% remaja.
“Aku kemarin baru magang di kontraktor. Awalnya memang untuk memenuhi kebutuhan kampus, tetapi saat sudah lulus baru sadar kalau magang ternyata penting untuk pengalaman kerja nanti," kata Abiel Kristianto.
Besarnya manfaat magang membuat sebanyak 97,9% remaja responden survei ingin melakukan magang jika ada kesempatan.
Selain pemagangan, seminar bersama industri dan kunjungan industri dapat membuat siswa lebih mengenal kondisi dunia kerja terkini.
“Lembaga pendidikan harus tahu apa yang dibutuhkan industri. Kalau mencetak sesuatu, harus ada user-nya. Tanya kebutuhan user, kompetensi apa yang mereka butuhkan. Jangan buat siswa belajar kompetensi yang tidak dibutuhkan perusahaan," tutur Lispiyatmini, Kepala Bagian GA & HR PT. Jotun Indonesia dan Kepala Sekolah SMK Mitra Industri 2100, Bekasi.
Agar semakin memuluskan transisi remaja dari sekolah ke dunia kerja, sekolah memang harus menjalin kerja sama dengan industri.
“Kolaborasi antara dunia usaha dengan penyelenggara program pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia bisa dalam bentuk pembuatan skema program keterampilan, kurikulum, termasuk pemagangan," terang Tauvik Muhamad.
Bagi industri menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan seperti pemagangan dapat memberikan kemudahan dalam mempersiapkan dan memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri.
“Perusahaan dapat mengelola program ini bersama sekolah dan perusahaan tidak dirugikan oleh program ini karena untuk beberapa jenis pekerjaan bisa terbantu oleh tenaga magang. Kementerian Tenaga Kerja pun harus lebih aktif untuk menyosialisasikan program ini secara lebih luas," jelas Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosisasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Inisiatif Pribadi tetap Dibutuhkan
Kita yang harus pro-aktif, ternyata enggak sejalan dengan kenyataan di lapangan!
Dari 2.442 responden, ternyata hanya 35% yang melakukan magang atau praktik kerja atas inisiatif sendiri!
65% justru melakukan magang karena tugas atau kewajiban dari sekolah dan/atau kampus, bukan inisiatif sendiri.
Dua bentuk pemagangan yang paling umum dilakukan di Indonesia adalah :
- Internship
Untuk mendapatkan pengalaman kerja dan membantu jaringan dengan industri tanpa penugasan yang terstruktur.
- Apprenticeship
Untuk mendapatkan kompetensi tertentu dengan penugasan dan pelatihan yang terstruktur, terdiri dari kelas teori dan praktik kerja.
Apprenticeship terbagi dalam dua bentuk yakni yang diprakarsai sekolah dan pemagangan berbasis industri.
Selain mendapat pengalaman kerja, membuka jaringan dan kompetensi baru, magang juga mengasah hard skill dan soft skill kita, lho!
Hard skill meliputi keahlian utama yang dibutuhkan dunia kerja dan keterampilan khusus yang tidak ada di sekolah.
Seperti bisa tahu mesin kendaraan untuk bidang otomotif, housekeeping di perhotelan, instalasi listrik pada manufaktur dan lainnya tergantung profesi.
Sedangkan soft skill lebih kepada kepribadian yang memengaruhi hubungan interpersonal satu dan lainnya, seperti kemampuan berkomunikasi, team work yang baik, leadership, hingga etika.
Berbeda dengan internship, program magang apprenticeship harus disertai dengan sertifikasi
sesuai dengan standar kompetensi yang diakui.
“Jadi ada tiga hal kenapa penting adanya sertifikat. Pertama, untuk menghindari peserta magang dimanfaatkan menjadi pekerja dengan upah murah oleh perusahaan. Kedua, memastikan peserta pemagangan memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Ketiga, bisa jadi referensi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik," papar Tauvik Muhamad.
Tiga manfaat adanya sertifikat magang:
1. Menghindari peserta magang dimanfaatkan menjadi pekerja dengan upah murah oleh perusahaan.
2. Memastikan peserta magang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
3. Menjadi referensi saat mencari kerja.