Minggu, 5 Oktober 2025

Pola Komunikasi Remaja di Media Sosial: Membangun Etika Digital dan Prestasi Akademik

Bagi remaja, media sosial tak lagi sekadar alat hiburan, tetapi telah menjadi bagian dari konstruksi identitas diri. Ini cara membangun etika digital.

|
Editor: Sri Juliati
ChatGPT Plus
POLA KOMUNIKASAI REMAJA - Ilustrasi remaja dan dunia media sosial di-generate oleh ChatGPT Plus. Bagi remaja, media sosial tak lagi sekadar alat hiburan, tetapi telah menjadi bagian dari konstruksi identitas diri.  

oleh: Lia Yulianti
Manajer Produksi Materi Pelajaran Ganesha Operation

TRIBUNNEWS.COM - Remaja dan Dunia Media Sosial: Generasi yang Tumbuh Bersama Layar

Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia berkomunikasi, tidak terkecuali remaja. 

Bagi remaja, media sosial tidak lagi sekadar alat hiburan, tetapi telah menjadi bagian dari konstruksi identitas diri. 

Melalui unggahan foto, komentar, atau story, remaja menegosiasikan posisi mereka dalam struktur sosial—dunia maya menjadi panggung tempat mereka "dilihat", "diakui", bahkan "dinilai".

Di era digital, media sosial, seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, dan X (Twitter), dan lain-lain telah menjadi arena utama interaksi remaja. 

Namun, di balik keaktifannya, muncul pertanyaan penting: apakah komunikasi di media sosial memperkuat atau justru mengganggu perkembangan dan prestasi remaja?

Dimensi Psikologis: Kebutuhan Diterima dan Risiko Emosional

Menurut psikolog perkembangan, Erik Erikson, masa remaja adalah tahap pencarian identitas. Media sosial tidak hanya menjadi tempat ekspresi, tetapi juga ladang tekanan:

1. Masa Remaja dan Pencarian Identitas 

Masa remaja adalah tahap pencarian identitas, yaitu ketika individu mulai mencari jati diri dan membentuk peran sosial mereka. 

Di tahap ini, remaja sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka diterima oleh orang lain, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. 

Media sosial menjadi wadah bagi mereka untuk mengekspresikan diri, tetapi juga membawa tantangan terkait bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain.

2. Kebutuhan Validasi Sosial dan Siklus Membandingkan Diri

Remaja sering kali mencari validasi sosial di media sosial. Validasi ini didapatkan dari jumlah like, komentar positif, atau peningkatan jumlah pengikut (followers). 

Ketika seseorang mendapatkan perhatian positif, mereka merasa dihargai dan diterima. 

Namun, hal ini bisa menciptakan siklus membandingkan diri yang menjadikan remaja terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial

Perbandingan ini sering kali tidak realistis karena banyak orang hanya menampilkan sisi terbaik mereka yang bisa menurunkan rasa percaya diri remaja yang merasa kurang atau tidak cukup baik.

3. Komentar Negatif dan Dampaknya pada Harga Diri

Komentar negatif di media sosial, seperti kritik atau hujatan, dapat memiliki dampak psikologis yang serius. 

Remaja, yang masih dalam tahap pembentukan identitas, cenderung lebih sensitif terhadap penilaian eksternal

Hal ini dapat menurunkan harga diri mereka dan membuat mereka merasa tidak dihargai atau tidak diinginkan. 

Menghadapi komentar negatif atau cyberbullying dapat memperburuk masalah kesehatan mental remaja, menyebabkan kecemasan, depresi, atau perasaan terisolasi.

4. Like dan Follower Count sebagai Ukuran Diri

Di dunia media sosial, jumlah like dan followers sering kali dianggap sebagai indikator utama nilai diri

Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial terhadap cara remaja menilai diri mereka. 

Sebaliknya, mereka yang kurang mendapatkan perhatian (misalnya, sedikit like atau followers) dapat merasa kurang berharga atau kurang diperhatikan meskipun nilai diri mereka tidak tergantung pada angka-angka ini. 

Pengukuran diri berdasarkan angka ini mengabaikan aspek-aspek penting lainnya, seperti karakter, prestasi, atau kualitas hubungan sosial yang lebih mendalam.

5. Fear of Missing Out (FOMO) dan Kecemasan Kronis

Fear of Missing Out (FOMO) adalah fenomena yang makin sering terjadi di kalangan remaja akibat ketergantungan pada media sosial

FOMO merujuk pada perasaan cemas atau khawatir ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan atau pengalaman yang dianggap penting atau menyenangkan oleh orang lain. 

FOMO dapat menciptakan kecemasan kronis jika remaja merasa harus selalu terhubung dan mengikuti apa yang terjadi di media sosial untuk merasa diterima atau relevan. 

Kecemasan ini dapat mengganggu kesejahteraan mental mereka, mengarah pada ketergantungan yang lebih besar pada media sosial, dan memperburuk perasaan terisolasi jika mereka merasa tidak bisa mengikuti tren atau aktivitas yang sedang viral.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya pemahaman tentang etika komunikasi digital, serta kurangnya pembinaan dari sekolah dan orang tua dalam membangun kebiasaan bermedia yang sehat.

Tantangan Komunikasi Remaja di Media Sosial

1. Minimnya Etika Komunikasi Digital

  • Banyak remaja belum memahami perbedaan antara komunikasi lisan langsung dan komunikasi tertulis digital yang terekam permanen.
  • Fenomena cyberbullying, body shaming, hingga komentar toksik meningkat di ruang-ruang digital.
  • Remaja sering mengakses informasi tanpa melakukan verifikasi. Mereka lebih cenderung membagikan ulang konten karena "viral", bukan karena kebenarannya.

2. Over-ekspose Kecanduan terhadap validasi sosial (like, share, komentar) membuat remaja lebih banyak "berkomunikasi" demi popularitas, bukan substansi.

3. Kurangnya Kesadaran Jejak Digital 

Media sosial memberi ruang bebas, tetapi banyak remaja mengekspresikan kemarahan, kecemasan, atau frustrasi dalam bentuk komentar sarkastik, meme ejekan, bahkan doxing (tindakan mengungkap informasi pribadi seseorang secara publik, biasanya melalui internet, tanpa izin dari orang tersebut).

4. Tekanan Sosial dan Kecanduan Validasi 

Ketergantungan pada like, komentar, dan jumlah followers membentuk pola pikir yang dangkal terhadap nilai diri.

5. Budaya Balas Cepat (Instant Reply Culture)

Remaja merasa tertekan untuk selalu responsif sehingga mengorbankan fokus belajar.

6. Multitasking saat Belajar

Studi University of Chicago (2022) menemukan bahwa pelajar yang sering membuka media sosial saat belajar mengalami penurunan fokus hingga 30 persen dibanding mereka yang belajar tanpa distraksi digital.

Statistik: Media Sosial dan Remaja Indonesia

Menurut We Are Social x Hootsuite Report (2024 dan Studi IYDLI (2023) aktivitas remaja mengakses media sosial sangat berpengaruh terhadap konsentrasi belajarnya:

lihat fotoPenggunaan Media Sosial di Kalangan Remaja
Penggunaan Media Sosial di Kalangan Remaja

Dampak terhadap Prestasi Akademik

Sebuah studi oleh Indonesian Youth Digital Literacy Initiative (IYDLI, 2023) terhadap 1.500 siswa SMA menunjukkan:

Kategori Aktivitas Media Sosial Rata-rata Nilai Rapor (skala 100  Dampak Umum
< 1>  85–90 Fokus, manajemen waktu baik
 1–3 jam per hari 78–85 Kadang terdistraksi, multitasking
> 3 jam per hari + multitasking belajar  70–78  Sulit konsentrasi, waktu belajar terganggu
Sumber: Indonesian Youth Digital Survey (2023)

Cara Membangun Komunikasi Positif di Media Sosial

1. Pahami Etika Digital

  • Hindari menyebarkan hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian.
  • Saring sebelum sharing. Ini bukan hanya soal kebenaran informasi, melainkan juga tentang kesadaran akan dampaknya terhadap individu, masyarakat, dan lingkungan digital yang lebih luas. 
  • Sekolah dapat memasukkan pelajaran literasi digital dan etika berkomunikasi online ke dalam kurikulum.

2. Gunakan Bahasa yang Sopan dan Asertif

  • Hindari bahasa kasar, emoji berlebihan, dan sarkasme yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
  • Di dunia maya, interaksi sering kali tidak langsung, dan tanpa ekspresi wajah atau nada suara, pesan yang disampaikan bisa disalahartikan. 
  • Oleh karena itu, penggunaan bahasa sopan menjadi kunci untuk menjaga komunikasi tetap santun dan menghindari kesalahpahaman.
  • Asertivitas dalam berkomunikasi berarti menyampaikan pendapat, perasaan, atau kebutuhan secara jujur dan langsung tanpa menyakiti orang lain. Di media sosial, asertivitas penting untuk menjaga agar pesan kita jelas dan tidak disalahartikan.

3. Bergabung dengan Komunitas Positif

Remaja dapat mengikuti akun edukatif, komunitas belajar, forum diskusi produktif.

  • Akun Edukatif: Sumber Pengetahuan yang Terpercaya. Akun edukatif ini bisa mencakup berbagai topik, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, bahasa, hingga seni. Akun-akun ini sering kali dikelola oleh para ahli, pendidik, atau institusi pendidikan yang memiliki kredibilitas.
  • Bergabung dengan komunitas belajar di media sosial memberikan remaja kesempatan untuk berbagi pengetahuan, bertanya, dan berdiskusi tentang topik-topik tertentu.
  • Forum diskusi produktif di media sosial atau platform forum seperti Quora, Stack Exchange, atau grup diskusi di Facebook serta GO Expert (social) dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis mereka.

4. Batasi Waktu dan Tentukan Zona Bebas Gadget

  • Terapkan waktu belajar bebas media sosial.
  • Gunakan fitur screen time di ponsel untuk mengatur penggunaan.
  • Batasi waktu media sosial saat belajar, gunakan fitur Focus Mode di smartphone.

5. Bangun Digital Footprint yang Positif

  • Apa yang diposting hari ini bisa dilihat dosen atau HRD di masa depan.
  • Jejak digital adalah cermin kepribadian.

Penutup: Jejak Digital, Jejak Masa Depan

Remaja masa kini hidup di dua dunia: nyata dan maya. 

Komunikasi digital yang baik bukan hanya soal tata bahasa atau emoji yang digunakan, tapi juga bagaimana membangun karakter, harga diri, dan masa depan. 

Karena pada akhirnya, komunikasi yang baik akan mendukung bukan hanya prestasi akademik, melainkan juga reputasi dan masa depan.

Sudah saatnya remaja Indonesia melek digital tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara etis dan akademis

Dengan literasi digital yang matang, akan terlahir generasi yang unggul-bukan hanya di media sosial, melainkan juga dalam dunia nyata.

Mendorong remaja agar cerdas berkomunikasi di media sosial berarti mendorong generasi yang berpikir kritis, beretika, dan produktif.

Komunikasi digital yang sehat adalah fondasi masa depan akademik dan sosial mereka. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved