Pengamat Militer: Wakil Panglima TNI dari Kepala Staf Angkatan Akan Timbulkan Matahari Kembar
Pengisian jabatan Wakil Panglima oleh figur yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan berpotensi menimbulkan ketegangan.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama dua kepala staf angkatan TNI yakni Marsekal M Tonny Harjono dan KSAL Muhammad Ali baru-baru ini muncul dalam bursa Wakil Panglima TNI.
Rencananya Presiden akan melantik Wakil Panglima TNI dalam upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/8/2025).
Namun, hingga kini sosok yang akan menjabat Wakil Panglima TNI masih misteri.
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang secara teoritis, para Kepala Staf Angkatan memang punya kans untuk diangkat sebagai Wakil Panglima.
Menurutnya tidak ada aturan yang melarang hal itu.
Baca juga: Hari Istimewa TNI Segera Tiba: 3 Pasukan Khusus Dipimpin Jenderal Bintang 3, Wakil Panglima Baru
Akan tetapi secara kelembagaan, kata dia, pengisian jabatan Wakil Panglima oleh figur yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan berpotensi menimbulkan ketegangan.
"Pertama, ketegangan struktural, karena figur Wakil Panglima bisa terlalu dominan atau bahkan sejajar secara pengaruh dengan Panglima. Ini yang sering disebut sebagai 'matahari kembar'," kata Fahmi saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (8/8/2025).
"Kedua, justru kehilangan makna fungsional, jika Wakil Panglima sekadar ditempati figur senior sebagai 'parkir jabatan', tanpa mandat dan tanggung jawab yang jelas," sambungnya.
Baca juga: Siapa Sosok Wakil Panglima TNI yang Akan Dilantik Prabowo? Pengamat Ungkap Kompetensi Ideal
Fahmi lebih cenderung setuju pada pilihan pengisian Wakil Panglima sebagai promosi dari perwira tinggi bintang tiga.
Menurutnya, hal itu bisa menjadi bagian dari mekanisme kaderisasi yang sehat dan meminimalkan friksi struktural.
"Terkait siapa kandidat terkuat saat ini, informasi di lapangan memang menyebut dua nama dari TNI AD yaitu Jenderal Maruli Simanjuntak (KSAD) dan Letjen Tandyo Budi Revita (Wakasad)," kata dia.
"Kalau Presiden memutuskan salah satunya, tentu akan menimbulkan catatan tersendiri karena Panglima dan Wakil Panglima akan berasal dari matra yang sama. Tapi secara hukum itu sah saja," ungkapnya.
Urgensi Jabatan Wakil Panglima TNI
Menurut Fahmi, bila melihat beban organisasi TNI hari ini, posisi Wakil Panglima TNI memang patut diisi.
TNI, kata dia, sedang mengalami ekspansi struktur dan modernisasi kekuatan dalam berbagai bidang, mulai dari pembentukan kotama baru, peningkatan satuan elite jadi komando, hingga pembangunan kekuatan berbasis teknologi digital.
Dalam kondisi seperti ini, kata Fahmi, Panglima TNI tidak bisa bekerja sendirian.
Sehingga, menurutnya perlu ada figur pendamping di level atas untuk membantu mengelola konsolidasi, mengawal pelaksanaan reformasi organisasi, dan menjaga kesinambungan agenda strategis.
"Tapi saya tetap menekankan bahwa urgensi ini hanya bisa dibenarkan jika posisi Wakil Panglima benar-benar difungsikan secara nyata dan produktif, bukan sekadar mengisi kekosongan atau menampung figur tertentu," ungkap dia.
Kalkulasi Politik Presiden
Dalam praktik politik pertahanan terutama di level puncak seperti ini, menurutnya, tentu Presiden akan mempertimbangkan banyak aspek.
Hal itu, lanjut dia, termasuk dinamika politik internal TNI, relasi antarmatra, serta konstelasi politik nasional.
Presiden Prabowo, menurutnya, sangat memahami pentingnya menjaga soliditas internal TNI.
Karena itu, kata Fahmi, dalam memilih Wakil Panglima, beliau tidak hanya akan melihat rekam jejak dan kompetensi profesional, tetapi juga pertimbangan stabilitas, keseimbangan kekuatan, serta kesinambungan agenda pembangunan postur pertahanan.
Bila keputusan yang diambil dianggap terlalu berat ke satu matra tertentu terutama dalam konteks saat Panglima dan Wakilnya berasal dari matra yang sama, lanjut dia, maka kemungkinan akan ada langkah lanjutan untuk distribusi yang lebih proporsional di jabatan-jabatan strategis lain.
"Misalnya di posisi Kasum, Pangkogabwilhan, atau para pimpinan Kotama," kata Fahmi.
"Jadi menurut saya, penunjukan Wakil Panglima ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pertahanan yang lebih luas. Dan di situlah kelihaian serta kalkulasi strategis Presiden akan sangat menentukan," pungkasnya.
Sekilas Tentang ISSES dan Sosok Khairul Fahmi
Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) didirikan Khairul Fahmi pada 2013.
Khairul Fahmi pernah mengenyam pendidikan di Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Ia memang sudah tertarik dengan isu-isu pertahanan sejak duduk di bangku kuliah.
Semasa kuliah, ia aktif di Unit Kegiatan Resimen Mahasiswa (Menwa) dan ditunjuk menjadi Komandan Menwa Unair pada 1997-1999. Selepas kuliah pria kelahiran Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut pernah menjadi jurnalis hingga menjadi redaktur pelaksana sebuah media di Jakarta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.