Penyebab Musim Kemarau Belum Sepenuhnya Merata di Wilayah Indonesia, Ini Kata BMKG
Ini penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) soal penyebab musim kemarau yang belum merata di wilayah Indonesia.
Penulis:
Lanny Latifah
Editor:
Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Simak penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) soal penyebab musim kemarau yang belum merata di wilayah Indonesia.
Diketahui, cuaca ekstrem kerap melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada periode akhir Mei ini, meskipun secara klimatologis telah memasuki musim kemarau.
Dalam sepekan ke belakang, BMKG mencatat terjadinya hujan di sebagian wilayah Indonesia.
Hujan ekstrim terjadi di Raja Haji Fisabilillah, Kep. Riau dengan intensitas hujan sebesar 155.4 mm/hari pada 29 Mei, dan di Bantilan, Sulawesi Tengah mencapai 193.2 mm/hari pada 27 Mei.
Intensitas hujan yang cukup tinggi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di sejumlah wilayah Indonesia dipicu oleh kombinasi beberapa fenomena atmosfer, yaitu MJO (Madden-Julian Oscillation) dan gelombang-gelombang atmosfer (Rossby Ekuatorial, Kelvin, dan Low Frequency).
Selain itu, menurut BMKG, lemahnya angin monsun Australia terutama di wilayah selatan Indonesia, jadi penyebab musim kemarau yang belum merata terjadi di wilayah Indonesia.
Hal ini terlihat dari Indeks Monsun Australia yang berada di bawah nilai klimatologisnya, serta tertahannya massa udara kering di wilayah Samudra Hindia selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur.
Pelemahan tersebut turut memicu pembentukan daerah-daerah perlambatan angin (konvergensi) dan pertemuan angin (konfluensi) di sekitar ekuator, sehingga mendorong pertumbuhan awan-awan konvektif di wilayah-wilayah tersebut.
Kondisi atmosfer yang relatif basah masih berpotensi terjadi dalam sepekan ke depan, khususnya di wilayah Indonesia bagian selatan, yang diperkuat oleh dinamika tropis dan topografi wilayah itu sendiri.
Aktivitas gelombang ekuator seperti Madden–Julian Oscillation (MJO) dan gelombang Kelvin meningkatkan peluang terbentuknya awan-awan konvektif.
Di sisi lain, labilitas atmosfer skala lokal, baik dari interaksi angin darat/laut maupun dari faktor geografis lainnya, turut memperkuat proses konvektif di wilayah selatan Indonesia.
Baca juga: Meski Sudah Masuk Musim Kemarau, BNPB Imbau Masyarakat Tetap Waspada Potensi Cuaca Ekstrem
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan hujan lokal dengan intensitas sedang hingga lebat pada siang hingga sore hari yang disertai kilat/petir yang tidak merata dengan waktu singkat.
Mengingat atmosfer bersifat sangat dinamis, masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, meskipun pada wilayah yang sudah memasuki musim kemarau.
Dalam sepekan ke depan, beberapa wilayah di Sulawesi, Maluku Utara, dan sebagian wilayah di Pulau Papua masih berpotensi mengalami hujan berdurasi lama.
Meskipun demikian, hujan deras berdurasi singkat yang disertai petir, kilat, dan angin kencang masih mungkin terjadi secara tiba-tiba di berbagai daerah.
Oleh karena itu, BMKG terus mengimbau masyarakat akan pentingnya memantau informasi cuaca resmi dan mengambil langkah mitigasi yang diperlukan guna mengurangi dampak risiko bencana hidrometeorologi.
(Tribunnews.com/Latifah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.