Eks Wakil Panglima TNI Heran Mengapa Prabowo Merasa Utang Budi ke Jokowi: Apa Bukan Sebaliknya?
Eks Wakil Panglima TNI, (Purn.) Jenderal TNI Fachrul Razi menilai seharusnya Presiden Prabowo Subianto tidak merasa utang budi kepada Jokowi.
Penulis:
Faryyanida Putwiliani
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Panglima TNI 1999-2000, (Purn.) Jenderal TNI Fachrul Razi menilai seharusnya Presiden Prabowo Subianto tidak merasa utang budi kepada Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Fachrul menyebut, jika ia bisa menyampaikan keresahannya kepada Prabowo, ia ingin mempertanyakan bukankah seharusnya Jokowi yang berutang budi kepada Prabowo.
"Salah satu poin yang ingin kami sampaikan, seandainya kita diterima oleh Pak Prabowo Subianto, ada yang ingin kami tanyakan."
"Pak, kenapa Bapak merasa utang budi dengan Pak Jokowi? Apa bukan sebaliknya, Pak?" kata Fachrul dalam video tayangan acara Forum Purnawirawan TNI pada Kamis (17/4/2025) lalu, dilansir tayangan Program ROSI Kompas TV.
Pasalnya, menurut Fachrul, Jokowi membantu Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 kemarin bukan atas dasar rasa sayang.
Sehingga, Fachrul menilai Prabowo tak perlu merasa berutang budi kepada Jokowi.
"Beliau membantu Bapak cawe-cawe untuk menang, bukan karena dia sayang Bapak, bukan."
"Jadi mestinya Bapak enggak utang budi ke beliau. Beliau yang utang budi ke Bapak."
"Sehingga ingin saya sampaikan itu tadi, Pak lain kali enggak usahlah hormat-hormat banget, sedang-sedang saja lah," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Etika Politik, Dr. Haryatmoko, S.J, menilai pernyataan ini dimaksudkan ingin melihat Prabowo otonom dan ada legacy yang sungguh-sungguh.
"Sebetulnya mereka ingin menggarisbawahi apa yang saya sebutkan tadi mengenai legacy itu. Ingin melihat Pak Prabowo otonom gitu," terang Haryatmoko.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat pernyataan Fachrul sebagai bentuk kekecewaan terhadap praktik demokrasi sekarang yang telah menjadi alat untuk elite dan oligarki, tapi bukan kedaulatan rakyat yang sejati.
Baca juga: Surya Paloh Sayangkan Sikap Purnawirawan TNI: Usulan Pemakzulan Gibran Kurang Tepat
Wiranto Ungkap Alasan Prabowo Tak Langsung Jawab Usulan Purnawirawan TNI
Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal Purnawirawan Wiranto, menjelaskan alasan kenapa Presiden Prabowo Subianto tidak langsung merespons delapan usulan dari forum Purnawirawan Prajurit TNI yang disampaikan secara terbuka.
Satu usulan tersebut yakni meminta Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diganti.
Menurut Wiranto, sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Prabowo tidak dapat langsung merespons usulan tersebut.
"Sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi TNI, tidak bisa serta-merta menjawab itu. Spontan menjawab tidak bisa," kata Wiranto dalam konferensi pers usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, (24/4/2025).
Menurut Wiranto, Presiden Prabowo perlu mempelajari seksama usulan tersebut.
Karena usulan yang disampaikan merupakan masalah yang berat dan fundamental.
"Yang pertama, kan beliau perlu pelajari dulu isi dari statement itu, isi dari usulan-usulan itu."
"Dipelajari satu per satu, karena itu masalah-masalah yang tidak ringan, masalah yang sangat fundamental," katanya.
Selain itu kata dia, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem distribusi kekuasaan yang mana ada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Karenanya Presiden Prabowo kata Wiranto tidak akan merespons usulan yang isinya merupakan ranah lembaga lain.
Baca juga: Menakar Tuntutan Purnawirawan TNI Terhadap Gibran, Lebih Bernuansa Politis daripada Yuridis?
"Artinya kekuasaan beliau, kekuasaannya terbatas juga. Dalam negara yang menganut trias politika, ada pemisahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak bisa saling mencampuri di situ."
"Maka usulan-usulan yang yang bukan bidangnya presiden, bukan domain presiden, tentu ya presiden tidak akan menjawab atau merespon itu," katanya.
Selain itu, kata Wiranto, setiap kebijakan atau keputusan presiden harus mendengarkan masukan dari banyak pihak, tidak hanya dari satu pihak saja.
"Presiden mendengarkan, tapi tidak hanya satu sumber kemudian presiden mengambil keputusan, mengambil kebijakan. Harus banyak sumber-sumber lain yang beliau dengarkan," katanya.
Kemudian, kata dia, Presiden juga tidak hanya mengurusi satu bidang saja.
Sehingga, setiap keputusan atau kebijakan yang diambil harus memperhatikan bidang lainnya.
"Banyak bidang-bidang lain yang harus dipertimbangkan presiden sebelum mengambil keputusan. Nah dengan demikian, maka kalau ada anggapan bahwa presiden tidak merespons, bukan seperti itu. Presiden ya telah menjelaskan seperti itu," katanya.
Sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan surat terbuka berisi delapan sikap yang disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Mereka yang ikut meneken surat tersebut yakni Wapres ke-6 RI periode 1993-1998 sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) periode 1988-1993 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, menteri agama (menag) periode 2019-2020 dan wakil panglima TNI periode 1999-2000 Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, KSAD periode 1999-2000 Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, KSAL periode 2005-2007 Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, KSAU periode 1998-2002 Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.
Baca juga: Ratusan Jenderal Purnawirawan TNI Usulkan Gibran Diganti, Kaesang: Kan Dipilih Langsung oleh Rakyat
Adapun delapan sikap forum tersebut yakni :
1. Kembali ke UUD 1945 asli sebagai Tata Hukum Politik dan Tata Tertib Pemerintahan.
2. Mendukung Program Kerja Kabinet Merah Putih yang dikenal sebagai Asta Cita, kecuali untuk kelanjutan pembangunan IKN.
3. Menghentikan PSN PIK 2, PSN Rempang dan kasus-kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat serta berdampak pada kerusakan lingkungan.
4. Menghentikan tenaga kerja asing Cina yang masuk ke wilayah NKRI dan mengembalikan tenaga kerja Cina ke Negara asalnya.
5. Pemerintah wajib melakukan penertiban pengelolaan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3.
6. Melakukan reshuffle kepada para menteri, yang sangat diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para Pejabat dan Aparat Negara yang masih terikat dengan kepentingan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
7. Mengembalikan Polri pada fungsi Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di bawah Kemendagri.
8. Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Taufik Ismail)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.