Selasa, 30 September 2025

Muncul Usulan DPR Pakai Hak Angket Atau Interpelasi Untuk Selidiki Maraknya Kasus Kekerasan Polisi

Usman menangkap, DPR RI belakangan ini terkesan menjadi pihak yang membenarkan apa yang salah dari pihak kepolisian. 

Penulis: Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM/IRWAN RISMAWAN
Suasana Gedung Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (17/11/2015). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia merekomendasikan agar DPR menggunakan hak angket atau hak interpelasi guna menyelidiki rentetan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Januari hingga November 2024.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, hal itu karena pihaknya ingin mengingatkan DPR memiliki hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Usman menangkap, DPR RI belakangan ini terkesan menjadi pihak yang membenarkan apa yang salah dari pihak kepolisian. 

Ia memandang DPR saat ini adalah bagian dari pengawasan kepolisian yang paling lemah.

"Jadi hak angket, hak interpelasi itu sangat penting untuk diingatkan saat ini karena yang paling lemah dalam pengawasan kepolisian adalah di DPR," ungkapnya saat diskusi di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Senin (9/12/20204).

Baca juga: Sederet Kasus Penyalahgunaan Senpi Polisi, YLBHI: Saat Ini Sudah Darurat Kesewenang-wenangan

Ia menjelaskan, paling tidak ada lima pengawasan kepada kepolisian.

Pertama, lanjut dia, pengawasan internal di kepolisian baik melalui Divisi Propam, Irwasum, Paminal, Irwasda, atau Karo Wasidik.

Kedua, lanjutnya, pengawasan eksekutif di tingkat presiden termasuk pengawasan di bawah Kompolnas.

Ketiga, kata dia, pengawasan di DPR atau pengawasan legislatif.

Keempat, lanjutnya, adalah pengawasan oleh institusi yang independen seperti Komnas HAM bila pihak kepolisian mengakibatkan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. 

Dan kelima, pengawas dari lembaga-lembaga NGO independen.

"Kenapa rekomendasi kami dominan kepada DPR itu karena fungsi pengawasan legislatif, fungsi pengawasan politik dari Komisi XIII itu belum terlihat efektif dalam mengawasi kepolisian," ujarnya.

Baca juga: Novel Baswedan Tolak OTT KPK Dihapuskan: Justru Bisa Cegah Kerugian Negara

Akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti dalam kesempatan yang sama mengamini hal tersebut.

Menurutnya, hak angket dan hak interpelasi tersebut perlu diaktivasi karena suda sekian lama DPR "ditidurkan". 

"Karena memang DPR sudah terkooptasi, kita semua tahu, sekarang ini juga sudah ada koalisi yang luar biasa besar yang sebenarnya akan membuat politik kita mati, demokrasi itu bisa dibilang mati," ungkapnya.

"Kalau analis legalisme yang berkarakter otokratisme yang didukung oleh hukum, sebenarnya sudah sukses sekali. Karena justru DPR yang harusnya melakukan pengawasan supaya demokrasi tidak mati, sudah dimatikan duluan, makanya bukan demokrasi lagi tapi otokrasi," sambung dia.

Ia menyadari penggunaan hak angket di DPR memerlukan sejumlah syarat yang bersifat prosedural.

Untuk itu, ia mendorong setidaknya substansi dari penggunaan hak angket dan hak interpelasi tersebut bisa diangkat oleh para anggota DPR.

"Tapi, yang penting kan substansinya dulu diangkat sama politikus. Jangan cuma di konsumsi yang sifatnya di Podcast," kata Bivitri.

"Kenapa kita membutuhkan para wakil rakyat kita itu kan karena kalau kita tanya, kita ramaikan di media sosial mungkin dampaknya kecil. Paling-paling yang bisa mengangkat ya teman-teman jurnalis yang bisa bertanya secara tajam," sambung dia.

Temuan Amnesty

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan pihaknya di kantornya, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan pihaknya di kantornya, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024). (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Amnesty International Indonesia (Amnesty) mencatat sebanyak 116 kasus kekerasan hingga 29 pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang melibatkan anggota Polri di seluruh Indonesia dalam periode Januari sampai November 2024.

Hal tersebut merupakan bagian dari temuan Amnesty International Indonesia yang dipaparkan di kantor Amnesty, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024).

Amnesty mencatat 116 kasus kekerasan tersebut terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), 26 kasus penyiksaan, 21 kasus penangkapan sewenang-wenang dalam aksi damai, 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 7 kasus penggunaan kekuatan gas air mata dan water canon, 3 kasus penahanan incommunicado, 1 kasus pembubaran diskusi, dan 1 kasus penghilangan sementara.

Baca juga: Bocah 5 Tahun di Pasar Rebo Dirudapaksa Ayah Kandung hingga Tewas, 8 Orang Diperiksa Polisi

Amnesty juga mencatat 29 kasus pembunuhan di luar hukum tersebut menewaskan 31 orang.

Kasus tersebut tersebar di Papua, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten.

Amnesty juga mencatat temuan khusus terkait rangkaian aksi protes pada 22 sampai 29 Agustus 2024 atau Peringatan Darurat di 14 kota yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

Dalam aksi tersebut, ujar Usman, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.

Amnesty juga mewawancari sejumlah saksi di enam kota yang mengalami dan melihat peristiwa tersebut.

Amnesty juga menunjukkan sejumlah bukti video yang dikumpulkan dan diverifikasi.

Atas temuan tersebut, Amnesty mengemukakan empat poin kesimpulan.

Pertama, kekerasan polisi yang berulang ialah "lubang hitam" pelanggaran HAM. 

Penggunaan kekuatan yang tak perlu dan tak proporsional secara berulang dan tanpa adanya akuntabilitas, lanjutnya, adalah kebijakan kepolisian merepresi tiap protes atas kebijakan negara atau pejabat atau industri strategis, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri di lapangan atau melanggar perintah atasan.

Kedua, kekerasan polisi atas aksi Peringatan Darurat merupakan pilihan kebijakan mengamankan kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis atas proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika, dan lainnya.

Seluruhnya, menurut Amnesty menunjukkan polisi mengkhianati tugas melindungi HAM sesuai hukum nasional dan internasional.

Baca juga: Fakta Sidang Kode Etik Aipda Robig, Digelar Tertutup di Mapolda Jateng, Kompolnas Jadi Saksi

Ketiga, jika ditambah deretan kekerasan polisi yang marak dibincangkan masyarakat, maka tahun 2024 tidak memperlihatkan adanya perbaikan sistem di kepolisian. 

Sebaliknya, menurut Amnesty hal itu malah memperlihatkan semakin darurat karena seluruh kasus kekerasan polisi berujung dengan pembenaran dan tanpa pertanggungjawaban.

Keempat, menurut Amnesty janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo bahwa era kepemimpinannya akan mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved