Senin, 6 Oktober 2025

Ramadan 2023

Dradjad Wibowo: Jika Ada Sosialisasi yang Baik, Larangan Bukber Puasa Tak Jadi Bola Politik Liar

Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo angkat bicara soal larangan buka puasa bersama menteri dan pejabat negara selama Bulan Ramadhan 1444 Hijriah.

KOMPAS.com/TSARINA MAHARANI
Dradjad Wibowo di Sekretariat DPP PAN di Jl Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (8/2/2020). Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo angkat bicara soal larangan buka puasa bersama menteri dan pejabat negara selama Bulan Ramadhan 1444 Hijriah. Menurut Dradjad Wibowo, agar hal itu tidak menjadi gaduh di bulan Ramadhan, maka lepas label politik sebagai oposisi atau pendukung pemerintah.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo angkat bicara soal larangan buka puasa bersama menteri dan pejabat negara selama Bulan Ramadhan 1444 Hijriah.

Menurut Dradjad Wibowo, agar hal itu tidak menjadi gaduh di bulan Ramadhan, maka lepas label politik sebagai oposisi atau pendukung pemerintah. 

Dia mengajak untuk melihat fakta dengan analisis ekonomi kesehatan. Di mana, kebetulan cabang ilmu ini adalah salah satu keahlian dirinya sejak tahun 1989. 

"Kita lihat faktanya. Jumlah kasus harian COVID-19 di seluruh dunia termasuk Indonesia saat ini sangat rendah. Case fatality rate (CFR) dan tingkat hospitalisasi jauh menurun," kata Drajat Wibowo kepada wartawan, Jumat (24/3/2023).

"Yang paling banyak terjadi adalah kasus COVID-19 subvarian XBB 1.5 atau Kraken dan mutasi lanjutannya. Gejala yang muncul pada pasien jauh lebih ringan dibanding Omicron, apalagi Delta," sambungnya.

Dia pun menceritakan soal aktivitasnya yang baru pulang dari Eropa Barat dan India.

Sebagaimana di Indonesia, jaga jarak fisikal tidak terlihat lagi.

Hanya sedikit orang yang memakai masker, karena pertimbangan kesehatan personal.

Meski demikian, CFR dan hospitalisasi COVID-19 masih agak jauh dari nol. 

Gejala yang ringan pun sebenarnya tidak ringan. Ada pasien yang bercerita gejalanya lebih berat dari flu berat.

"Di sini lah ekonomi kesehatan masuk. Kita melihat dari sisi kualitas hidup dan ongkos sebuah penyakit. Ongkos ini terkait biaya langsung seperti biaya rumah sakit, maupun hilangnya waktu kerja dan kesempatan ekonomi," paparnya.

Sebagai contoh, dia merujuk pengalaman sahabat yang sangat ketat menjaga protokol kesehatan namun harus menerima terinfeksi Covid-19.

Pada saat perawatan, tak sedikit biaya yang dikeluarkan dan tentunya waktu yang tidak dibisa digunakan untuk bekerja dan mendapat penghasilan.

Sehingga faktanya, COVID-19 masih ada dan ongkos penyakitnya masih besar. 

Baca juga: Menteri PAN RB: Pejabat dan ASN Wajib Patuhi Larangan Buka Puasa Bersama

Dia menilai, dalam konteks ini, surat dari Menseskab Pramono Anung yang merujuk arahan Presiden itu tidak salah secara ekonomi kesehatan. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved