Minggu, 5 Oktober 2025

Jokowi Dihujani Kritik setelah Singgung Pilpres Jatah Prabowo, Disebut Tak Etis hingga Tak Sensitif

Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut Pilpres 2024 sepertinya jatah Prabowo Subianto memantik sejumlah kritikan. Jokowi disebut tak etis.

Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan jalur laut saat mengunjungi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (25/10/2022) - Presiden Jokowi menuai sejumlah kritikan setelah menyinggung jatah Pilpres dan dukungannya kepada Prabowo Subianto. 

TRIBUNNEWS.COM - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Pilpres 2024 sepertinya jatah Prabowo Subianto memantik sejumlah kritikan.

Diketahui pernyataan itu disampaikan Jokowi saat menghadiri HUT ke-8 Perindo, Senin (7/11/2022), yang juga dihadiri Prabowo.

"Tadi Pak Hary (Tanoesoedibjo) menyampaikan saya ini dua kali Wali Kota Solo, menang. Kemudian ditarik ke Jakarta, Gubernur sekali, menang," ungkap Jokowi, dikutip dari Kompas TV.

"Kemudian dua kali di Pemilu Presiden juga menang, mohon maaf Pak Prabowo."

"Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo," ucap Jokowi, disambut riuh tepuk tangan hadirin.

Sejumlah pihak mengkritik pernyataan Jokowi, dari partai politik maupun pengamat politik.

Baca juga: Talkshow Panggung Demokrasi 9 November 2022: Di Balik Dukungan Jokowi ke Prabowo

Jokowi Dinilai Langgar Etik

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai dukungan Jokowi kepada Prabowo, melanggar etik.

Hal ini karena lontaran Jokowi tersebut menunjukkan semacam dukungan pada calon presiden berikutnya. 

"Tentu saja sangat melanggar etik. Karena perkataannya jelas menunjukkan semacam endorsement pada calon presiden berikutnya," kata Bivitri, Selasa (8/11/2022). 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com)

Baca juga: Reaksi Prabowo Ketika Ditanya soal Sinyal Dukungan Jokowi pada Pilpres 2024

Diberitakan Tribunnews.com, ia juga menambahkan, banyak respons dari elite partai yang mengatakan tindakan tersebut hanya sekadar basa-basi.

Namun, jelas Bivitri, di situ lah letak etik bagi penyelenggara negara.

Dalam berkomentar, bagi seorang penyelenggara negara, ada batas-batas etiknya.

Sebab ucapan ini bakal berpengaruh pada situasi politik bahkan kebijakan. 

"Memang ada sebagian yang pasti akan bilang itu hanya basa basi. Tapi justru di situ letak etik bagi penyelenggara negara, dalam keseharian, dalam berkomentar, ada batas-batas etik yang tinggi," ujar Bivitri.

"Karena setiap perkataan seorang penyelenggara negara, apalagi presiden, bisa berpengaruh pada situasi politik, bahkan kebijakan," tambahnya. 

Lebih lanjut, dalam hal perkataan Jokowi ke Prabowo, Bivitri menjelaskan hal tersebut bisa saja kelihatan remeh, tapi ada dua konteks makna di baliknya.

"Pertama dalam negosiasi politik yang sekarang ini tengah dilakukan. Kedua kebijakan yan mungkin harus atau akan diambil terkait dengan putusan MK mengenai menteri yang nyapres atau nyaleg," tegasnya. 

Lebih lanjut, perkataan Jokowi ini dinilai seakan-akan Indonesia bukan lagi negara demokrasi lagi, tetapi monarki. Sebab, penguasa selanjutnya harus disetujui oleh penguasa yang sekarang. 

Juga, tindakan ini seakan-akan menunjukkan pihaknya mau bergantian dalam menduduki kursi kepemimpinan. 

"Karena Prabowo kan dulu rival jokowi, jadi ganti-gantian saja. Sangat elitis, hanya siapa di lingkaran itu yang bisa ganti menggantikan," jelas Bivitri.

Baca juga: Hindari Politik Identitas, Pengamat Sarankan PDI Perjuangan dan PKS Gabung KIB

Tanggapan PKS

Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid.
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid. (Tribunnews.com/ Rahmat W. Nugraha)

Sementara itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai pernyataan Jokowi mendukung Prabowo sebagai calon presiden di Pilpres 2024 tidak etis.

"Iya (tidak etis)," kata Juru Bicara PKS M Kholid kepada Tribunnews.com, Rabu (9/11/2022).

Kholid mengatakan presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

"Maka sikapnya harus sebagai negarawan bukan politisi semata apalagi menjadi supporter kandidat, itu tidak baik," ujarnya.

Baca juga: Sekjen PDIP Sebut Pernyataan Jokowi di HUT Perindo Bukan Dukungan untuk Prabowo Tapi Pujian

Menurut Kholid, seorang presiden harus berdiri di atas semua kelompok, bersikap adil, dan proporsional untuk semua.

"Tugas pemimpin menghadirkan sense of justice, sense of equity, jadi ada fairness. Inilah yang akan menjadi modal besar dalam merekatkan rasa persaudaraan sesama anak bangsa," imbuhnya.

Demokrat: Jokowi Terlalu Jauh

Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan ditemui di kawasan parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (08/10/2022). (Mario Christian Sumampow)
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan ditemui di kawasan parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (08/10/2022). (Mario Christian Sumampow) (Tribunnews.com/Mario Christian Sumampow)

Sementara itu Ketua Dewan Kehormatan DPP Demokrat Hinca Panjaitan juga menyatakan bahwa Jokowi terlalu jauh dalam meramaikan bursa pencapresan.

Menurutnya ada banyak persoalan bangsa yang harus dipikirkan Jokowi, seperti urusan politik, hingga pandemi Covid-19, ketimbang urusan calon presiden.

"Saya kira Presiden tidak mesti terlalu jauh ikut meramaikan bursa pencapresan," ujarnya, dilansir Tribunnews.

PDIP Ingatkan Jokowi

Kritik untuk Jokowi juga hadir dari partai yang menaungi Presiden, PDIP.

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengingatkan agar Jokowi tak terlibat dalam politik praktis.

Misalnya seperti urusan Pilpres mendatang.

"Presiden RI kan tidak boleh terlibat di dalam kontestasi pemilu," kata Basarah ditemui di Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/11/2022).

Jokowi Kehilangan Sensitivitas

Sementara itu, pengamat Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyebut Jokowi kehilangan sensitivitasnya.

Ia juga menambahkan, Jokowi ingin menunjukkan level capaian politiknya yang jauh berbeda dengan mereka yang kalah dalam pilpres sebelumnya.

"Hal itu seolah ingin menunjukkan level capaian dan kelas politiknya yang jauh berbeda dibanding mereka yang kalah Pilpres."

"Jokowi seolah kehilangan sensitivitasnya," ujar Umam dalam keterangannya, Rabu (9/11/2022), dilansir Tribunnews.

Umam menegaskan, Jokowi seharusnya paham dan lebih sensitif, karena karier politiknya tidak lepas dari peran Prabowo yang mendukungnya di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan peran Megawati yang mendukungnya di Pilpres 2014 dan 2019.

"Dalam tradisi Jawa, sebaiknya Jokowi kembali memahami nasehat ojo dumeh, jangan mentang-mentang, karena di balik capaian dan prestasi kita, selalu ada peran orang lain di belakangnya," tegasnya.

(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Mario Christian Sumampow, Fersianus Waku, Malvyandie Haryadi)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved