HUT TNI
HUT Ke-77 TNI, Anton Aliabbas Ungkap 3 Hal yang Masih Harus Dibenahi Pimpinan
Pengamat militer Anton Aliabbas mengungkapkan tiga hal yang masih harus diperhatikan pimpinan TNI.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyambut HUT ke-77 TNI, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) sekaligus pengamat militer Anton Aliabbas mengungkapkan tiga hal yang masih harus diperhatikan pimpinan TNI.
Pertama, kata dia, fenomena kekerasan terhadap masyarakat sipil masih terjadi.
Peristiwa terbaru, kata dia, adalah aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah prajurit dalam Tragedi Kanjuruhan akhir pekan lalu yang terekam dalam video viral di media sosial.
Dalam hal ini, kata dia, penghukuman semestinya tidak hanya dibebankan pada prajurit yang melakukan kekerasan, tetapi juga komandan satuan yang bertugas.
"Harapannya, komandan satuan dapat melakukan kontrol dengan lebih ketat dan baik," kata Anton pada Rabu (5/10/2022).
Kedua, lanjut dia, masih terjadinya insiden kecelakaan alutsista yang mengakibatkan prajurit terampil meninggal dunia.
Baca juga: HUT ke-77 TNI, Jenderal Andika Perkasa Imbau Prajurit dan PNS TNI Selalu Jaga Kepercayaan Masyarakat
Dalam konteks ini, menurutnya pemeliharaan dan pengecekan terhadap kelaikan alutsista yang digunakan adalah syarat utama yang wajib dipenuhi sebelum digunakan.
Prajurit yang mengawaki, kata dia, jelas memiliki keterampilan tertentu sehingga penting kiranya bagi petinggi TNI untuk mengutamakan keselamatan mereka.
"Sebab kehilangan mereka akibat insiden kecelakaan alutsista adalah bentuk kerugian besar terhadap TNI," lanjut Anton.
Ketiga, kata Anton, masih belum ditatanya Skema Pemisahan dan Penyaluran (sahlur) Bagi Anggota TNI.
Hal tersebut menurutnya mengakibatkan polemik terkait penunjukkan TNI Aktif sebagai Pejabat Kepala Daerah.
Pengangkatan perwira aktif sebagai pejabat sementara kepala daerah, kata dia, jelas melanggar pasal 47 ayat 1 UU 34/2004 yang menyatakan bahwa Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Jabatan kepala daerah, kata dia, bukanlah ruang jabatan yang masuk dalam 10 kantor seperti yang tertera dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI.
Selain itu menurutnya pengangkatan prajurit aktif juga tidak sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021 yakni prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Perbaikan skema sahlur, kata dia, termasuk kebijakan pensiun dini akan berkontribusi mengurai penumpukan perwira menengah dan tinggi TNI yang non-job.
Menurut Anton penundaan penyelesaian masalah perwira non-job justru akan menyebabkan beban organisasi semakin kompleks.
Di sisi lain, lanjut dia, pemerintah hendaknya membangun secara serius kompetensi prajurit TNI untuk tugas non-perang terutama penanganan bencana alam.
Karena menurutnya institusi militer kerap kali diandalkan dalam penanganan awal dampak bencana alam.
Sementara itu, lanjut dia, pemerintah terkesan kurang memprioritaskan pembangunan kapasitas dan kompetensi TNI dalam masalah tersebut.
Hal tersebut mengingat wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam maka pengayaan kompetensi prajurit dan kapasitas TNI dalam penanganan bencana alam tidak bisa ditunda.
Dalam konteks ini, kata dia, penting kiranya pemerintah untuk mempertimbangkan ulang penerapan kebijakan refocusing anggaran untuk anggaran pertahanan.
Kemudian, kata dia, pengurangan anggaran pertahanan jelas akan berdampak signifikan dalam pemenuhan rencana pembangunan TNI termasuk penuntasan Minimum Essential Forces (MEF) Tahap 3.
"Perbaikan kesejahteraan melalui peningkatan persentase tunjangan kinerja bagi prajurit dan PNS di lingkungan TNI hendaknya ikut dapat diimplementasikan. Dengan demikian, narasi adanya perbaikan kesejahteraan prajurit TNI dapat dirasakan secara nyata hingga satuan bawah," kata Anton.