BP2MI Angkat Bicara Soal Apjati yang Mengadu ke Moeldoko terkait Penempatan PMI
BP2MI merespons soal keluhan yang disampaikan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) merespons soal keluhan yang disampaikan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko.
Tentunya, hal itu terkait problem antrean penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Taiwan.
Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama BP2MI Achmad Kartiko menyebut bahwa apa yang disampaikan Apjati tidak tepat dan tidak berdasar.
"Kalau tuduhan tertundanya penempatan bagi PMI ke beberapa negara terhitung sejak tahun 2020 disalahkan kepada BP2MI. Apa bedanya dengan pertanyaan publik terkait SPSK ke Timur Tengah yang tidak jalan? Kan Apjati pun waktu itu menjawab dengan alasan karena situasi pandemi Covid-19," kata Kartiko dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (8/7/2022).
Menurut Kartiko, saat itu juga ada pertanyaan publik kenapa Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sejak tahun 2018 tidak berjalan sampai hari ini.
Apjati pun akhirnya berkilah ini lantaran masalah pandemi Covid-19. Jadi tuduhan Apjati ini menjadi tidak relevan dan terkesan ingin menyalahkan BP2MI. Pernyataan Apjati, ungkapnya, sangat tendensius.
"Terkait penempatan PMI sektor domestik, termasuk Taiwan. Selain karena Covid-19, BP2MI dan Taiwan terus berunding hingga tiga kali melalui pertemuan Joint Task Force yang juga dihadiri Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia dengan IETO-TETO. Dalam setiap pertemuan itu, BP2MI mendesak Taiwan untuk melakukan dua hal," tuturnya.
Kartiko pun merinci dua hal tersebut. Pertama, BP2MI menuntut Taiwan menaikan gaji PMI untuk sektor domestik yang sejak tahun 2017 tidak pernah naik.
Baca juga: Bantah Keluhan Apjati, BP2MI Serius Perjuangkan Penempatan Calon Pekerja Migran ke Taiwan
Kedua, meminta Taiwan menghilangkan Komponen biaya Fee Agency sebesar 60 ribu NT$ atau sekira Rp32 juta dari Surat Pernyataan Biaya Penempatan yang selama bertahun-tahun menjadi beban PMI.
"Beban PMI selama ini kurang lebih Rp32 juta. Apa yang dilakukan BP2MI itu untuk kepentingan PMI. Harusnya ini yang direspon positif pihak asosiasi (APJATI) kalau mereka mau berjuang untuk PMI. Kalau mereka tidak merespon perjuangan BP2MI ini dengan positif, maka pertanyaannya asosiasi dan P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) ini berpihak kepada siapa? Apakah berpihak kepada PMI atau hanya memikirkan kepentingan bisnisnya?" tegasnya.
Kartiko kemudian menegaskan Taiwan akhirnya menyetujui permintaan BP2MI. Dimana, gaji PMI dinaikkan dan menghilangkan komponen biaya Fee Agency.
"Dan alhamdulillah, pertemuan terakhir dalam Joint Task Force IETO-TETO yang juga dihadiri oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI, Taiwan akhirnya menyetujui apa yang dituntut oleh BP2MI tentang kenaikan gaji dari 17 ribu NT$ menjadi 20 ribu NT$. Artinya terjadi kenaikan 3 ribu NT$ setiap bulannya untuk PMI kita. Kalau dihitung 3 tahun masa kontrak maka PMI Mendapatkan tambahan Rp54 juta. Ini kemenangan bagi PMI yang diperjuangkan BP2MI. Tidak mungkin Taiwan menyetujui jika kita tidak tekan melalui Perbadan 09 tahun 2020 tentang pembebasan biaya penempatan," paparnya.
Bagi Kartiko, tercapainya kesepakatan dengan Taiwan merupakan kemenangan bagi PMI dan negara.
Karena itu, saat ini tidak boleh ada pihak-pihak lain yang membebani biaya PMI. Kartiko mengatakan BP2MI akan tegak lurus pada perintah undang-undang untuk memperjuangkan kepentingan negara dan PMI.
Baca juga: Kepala BP2MI : Taiwan Setuju Hapus Komponen Agency Fee Sebesar Rp 32 Juta yang Bebankan PMI
"BP2MI adalah Lembaga negara. Sehingga tidak mungkin keputusan lembaga negara lahir karena tekanan dan paksaan mereka yang tidak berpihak kepada kepentingan PMI," jelasnya.
Sebelumnya, pada Selasa (5/7/2022), Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko menerima kedatangan pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), di gedung Bina Graha Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, Apjati mengungkapkan berbagai persoalan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pasca pandemi Covid-19.
Ketua Umum DPP Apjati Ayub Basalamah mengatakan, seiring dengan melandainya pandemi, beberapa negara sudah membuka kembali peluang untuk penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Seperti, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Hanya saja, kata dia, sampai saat ini penempatan PMI ke beberapa negara tujuan belum bisa dilakukan karena terkendala sejumlah persoalan.
Ia mencontohkan, penempatan PMI ke Taiwan karena belum terbitnya biaya struktur atau cost structur dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
“Ada 30 ribu PMI dengan tujuan penempatan Taiwan mengantre di Sisko P2MI (Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indoensia). Penempatan belum bisa dilakukan karena Kemenaker dan BP2MI belum terbitkan cost structure,” kata Ayub.
Sebagai informasi, biaya struktur atau cost structure merupakan keseluruhan biaya bagi seseorang dalam rangka bekerja di luar negeri. Diantaranya mencakup biaya pelatihan, persyaratan awal, dan biaya jati diri, seperti pengurusan paspor. Penetapan biaya struktur merupakan
Di dalam negeri, biaya struktur menjadi acuan total biaya yang dibebankan kepada pencari kerja, dalam hal ini PMI. Sementara bagi negara tujuan penempatan, biaya tersebut digunakan sebagai acuan biaya perekurtan pekerja asal Indonesia.
Dalam implementasinya, penetapan biaya struktur dilakukan atas dasar kesepakatan antara negara asal pekerja dengan negara yang menjadi tujuan penempatan.
“Belum keluarnya cost structure ini, membuat Taiwan juga belum bisa menerima PMI,” terang Ayub.
Baca juga: Taiwan Sepakat Menaikkan Gaji PMI Sektor Domestik, dari Rp 8,6 Juta Menjadi Rp 10 Jutaan/Bulan
Pada kesempatan itu, Ayub juga membeberkan, bahwa penempatan PMI ke Taiwan yang sudah berjalan merupakan program 2020 atau sebelum terjadi pandemi COVID19, dengan total 86 ribu PMI. Sementara untuk penempatan baru, ujar dia, sampai saat ini masih belum ada.
“Kondisinya stuck bapak. Untuk itu kami datang ke sini (KSP) agar persoalan ini bisa selesai,” ucapnya.
Selain persoalan penempatan PMI, Ayub juga menyampaikan tentang pentingnya penegakan hukum terhadap praktik-praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia Non Presedural.
Sebab, Apjati menemukan, jumlah penempatan PMI Non Prosedural sangat besar, terutama ke negara-negara di Timur Tengah.
“Satu bulan bisa lima sampai tujuh ribu,” jelas Ayub.
Menanggapi hal itu, Moeldoko menegaskan akan segera mengoordinasikan persoalan biaya struktur untuk penempatan PMI dengan Kemnaker, BP2MI, dan pihak asosasi penempatan. Termasuk, persolan PMI Non Presedural.
“Penempatan PMI salah satu sektor unggulan untuk perekonomian Indonesia, dengan pencapaian devisa. Kita harus bisa mengambil peluang ini,” tegas Moeldoko.
“Sumbangan devisa negara dari PMI sangat besar. 2021 saja mencapai 130 triliun rupiah,” imbuhnya.