Senin, 6 Oktober 2025

Pemilu 2024

Tito Beralasan Masa Kampanye Pemilu 2024 Selama 75 Hari Demi Hindari Keterbelahan, Ini Kata Pengamat

Pengamat menilai keterbelahan di masyarakat saat Pemilu 2024 ada banyak faktor seperti politisasi hingga presidential treshold.

Tribunnews.com/Naufal Lanten
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. 

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengatakan alasan pemerintah mendukung masa kampanye Pemilu 2024 berlangsung selama 75 hari yaitu faktor keamanan dan keterbelahan masyarakat akibat perbedaan pilihan.

Hal ini diungkapkannya sebelum menghadiri rapat kerja bersama ketua badan-badan penyelenggaraan pemilu dan Komisi II DPR RI, Selasa (7/6/2022).

“Memang namanya kampanye itu bagian dari demokrasi. Demokrasi itu masyarakat dibebaskan pada pilihan masing-masing, tetapi dalam ilmu security, apa pun bentuknya, ketika terjadi perbedaan itu terjadi potensi konflik seperti di pemilu-pemilu sebelumnya,” katanya dikutip Tribunnews dari Kompas.com.

“Kasihan masyarakat kalau terbelah terlalu lama,” imbuh Tito.

Lebih lanjut, dirinya mengungkapkan perubahan zaman juga menjadi alasan dukungan masa kampanye agar tidak berlangsung lama.

Baca juga: Soal Masa Kampanye Pemilu 2024 Selama 75 Hari, Pengamat: Tidak Ideal, Minimal 3 Bulan

Baca juga: Kampanye Pemilu Cuma 75 Hari, Perludem: KPU Wajib Buka Informasi Calon Seluas-Luasnya

Menurutnya teknologi informasi sudah sangat berkembang sehingga memungkinkan kampanye-kampanye politik lewat dunia maya.

Sehingga, katanya, hal ini menjadi penyebab pemerintah awalnya mengusulkan masa kampanye hanya 90 hari dari usul semula KPU yaitu selama enam bulan.

“Nah teman-teman DPR mengajukan lebih pendek lagi. Saya mendenga, nanti kita dengar sama-sama bahwa KPU yang tadinya setuju 6 bulan waktu rapat yang terakhir, saya dengar sudah menyetujui usulan dari DPR, Komisi II khususnya 75 hari.”

“Dari sisi pemerintah, makin pendek makin baik. Kita harapkan anggaran juga berkurang dan potensi keterbelahan rakyat tidak terlalu lama 75 hari,” jelas Tito.

Setuju dengan Masa Kampanye 75 Hari, Tak Sepakat Alasan dari Tito

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/8/2017).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/8/2017). (KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

Sementara itu pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin tidak sepakat dengan alasan dari Tito terkait durasi masa kampanye Pemilu 2024 selama 75 hari demi faktor keamanan dan menghindari keterbelahan masyarakat.

Menurutnya, berapapun lama durasi kampanye pemilu, tidak ada hubungannya dengan keamanan dan keterbelahan di masyarakat.

“Saya setuju dengan (masa kampanye) 75 harinya tetapi alasannya Tito saya tak setuju."

"Kalau kampanye berapa pun lamanya, tak ada hubungannya dengan polarisasi (keterbelahan masyarakat),” tuturnya saat dihubungi Tribunnews, Selasa (7/6/2022).

Ia menambahkan keterbelahan di masyarakat bukan disebabkan durasi kampanye saat pemilu yang lama tetapi politisasi yang diciptakan.

“Politisasi itu karena dibuat atau diciptakan oleh masing-masing capres dan cawapres,” jelas Ujang.

Baca juga: DPR dan KPU Sepakat Biaya Pemilu 2024 Sebesar Rp 76,6 Triliun

Dirinya pun mencontohkan keterbelahan di masyarakat terjadi ketika istilah kampret dan cebong muncul ketika pemilu 2019 lalu.

Kemudian, ia pun berharap agar partai politik (parpol) dan masyarakat dapat memanfaatkan masa kampanye yang telah disetujui oleh KPU dan DPR ini.

“Gunakan sebaik dan seefektif mungkin untuk sosialisasi visi, misi, dan program. Rakyat mesti jeli memilih yang terbaik programnya dan jangan memilih yang ngasih uang,” jelas Ujang.

Keterbelahan itu Terjadi Lantaran hanya Ada Dua Capres

Pengamat Politik Hendri Satrio.
Pengamat Politik Hendri Satrio. (Kementan)

Sementara pendiri lembaga survei, KedaiKOPI, Hendri Satrio menganggap keterbelahan di masyarakat terjadi lantaran selama Pemilu 2014 dan 2019 hanya terdiri dari dua capres yang berkontestasi.

Sehingga Hendri menginginkan agar Tito justru mengajak parpol agar turut mengusung lebih banyak capres.

“Sebetulnya keterbelahan itu ada karena langsung dari awal kita cuma dua pasang calon. Sebenarnya pak Tito, jika ingin keterbelahannya gak ada, coba aja diencourage partai politik itu untuk mencalonkan lebih dari dua calon.”

“Kalau lebih dari dua pasang calon sih menurut saya akan terhindar secara langsung (keterbelahan),” tuturnya saat dihubungi Tribunnews, Selasa (7/6/2022).

Hendri menambahkan keterbelahan masyarakat juga disebabkan adanya aturan presidential treshold atau ambang batas yaitu 20 persen.

Baca juga: KPU Dicecar Komisi II DPR Lantaran Tak Datang Rapat Pekan Lalu Bahas Persiapan Pemilu 2024

Sehingga, kata Hendri, aturan ambang batas ini lebih baik tidak ada.

“Sebenarnya jika tidak mau ada pembelahan lagi, presidential treshold itu tidak ada. Jadi bakal lebih banyak lagi calon presiden. Jadi tidak tergantung pada parpol.”

“Selain parpol, Mahkamah Konstitusi juga harus berani menghilangkan atau mengurangi presidential treshold itu,” pungkasnya.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Vitorio Mantalean)

Artikel lain terkait Pemilu 2024

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved