Sabtu, 4 Oktober 2025

Jabatan Kepala Daerah

Pakar Hukum: Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Unsur TNI Aktif Tak Ada Pijakan Konstitusionalnya

Fahri Bachmid memberikan analisis dan pandangan konstitusionalnya atas penunjukan dan pelantikan Kepala Badan Intelijen Negera (BIN) Sulawesi Tengah.

Istimewa
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid memberikan analisis dan pandangan konstitusionalnya atas penunjukan dan pelantikan Kepala Badan Intelijen Negera (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen TNI, Andi Chandra As’adudin sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat

“Penunjukan Penjabat dari unsur prajurit TNI aktif tidak tersedia pijakan konstitusionalnya,” kata Fahri Bachmid dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Kamis (26/5/2022).

Menurut Fahri, pada prinsipnya sepanjang mengenai keterlibatan prajurit TNI aktif Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat kaidah dan menegaskan dalam putusan perkara Nomor 15/PUU-XX/2022, yang pada hakikatnya Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritannya.

Pasalnya, itu adalah rumusan kaidah yang sifatnya 'ekspresif verbis' sehingga Menkopolhukam Mahfud MD tidak perlu lagi membangun serta memperluas tafsir selain yang telah dibuat oleh MK.

Secara konstitusional MK itu adalah lembaga negara yang satu-satunya yang diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir konstitusional yang sifatnya mengikat semua pihak 'result interpreter of the constitution'.

Disisi yang lain, kebijakan penunjukan penjabat Prajurit TNI aktif secara fundamental adalah melanggar Ketetapan MPR Nomor: X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Dan TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri maupun TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 yang menegaskan bahwa TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, dan secara teoritik ini merupakan filosofis serta 'Ratio legis' sebagaimana terdapat dalam ketentuan norma pasal 47 ayat (1) UU No. 34/2004 tentang TNI.

Baca juga: Penunjukan TNI-Polri Aktif Jadi Penjabat Kepala Daerah Disebut Cederai Demokrasi Indonesia

Fahri Bachmid berpendapat bahwa secara teoritik maupun yuridis, mandat konstitusional yang di kirimkan MK kepada pemerintah dalam berbagai pertimbangan hukum di berbagai putusan MK adalah bersifat wajib dan mengikat.

Dimana, pertimbangan hukum dalam putusan MK adalah mempunyai daya mengikat serta wajib di untuk tindaklanjuti sebagaimana mestinya,

“Jika tidak maka potensial menjadi masalah hukum serta berimplikasi terhadap keabsahan semua tindakan serta perbuatan pemerintahan itu sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat serius,” jelasnya.

Pertimbagan hukum MK terkait hal tersebut adalah bahwa Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri. 

Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat. 

Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002). 

“Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” terang Fahri.

Baca juga: Pengamat Sebut Pelantikan Penjabat Kepala Daerah Dari TNI-Polri Berpotensi Mengulang Dwifungsi ABRI

Sementara itu, lanjut Fahri, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

“Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud," kayanya.

"Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," tambah Fahri.

Ditegaskan Fahri, jabatan di luar kepolisian dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri. 

Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden, 

“Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif,” ucapnya.

Fahri juga menegaskan, Mahkamah dalam pertimbagan hukumnya merumuskan bahwa dalam konteks penunjukan Penjabata Kepala Daerah, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik.

Baca juga: Pengamat Ungkap Dampak Penunjukan Penjabat Kepala Daerah dari TNI-Polri Aktif bagi Masyarakat

Sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. 

“Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” katanya.

Oleh karena itu, Fahri mengatakan dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah.

Tentunya juga memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. 

“Sehingga, akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024,” katanya.

Hal lain yang sangat prinsip bagi Pemerintah Pusat, Fahri mengatakan adalah mempedomani mandat konstitusional yang telah dipertimbangkan serta dikirimkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.14.3]. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain mempertimbangkan Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. 

“Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” tambahnya.

Baca juga: Tito Karnavian Pastikan Pemilihan Pj Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara Berasas Profesionalitas

Sebab itu, menurut Fahri, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016. 

Hal itu dianggap pentinggi agar tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut.

Dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.

“Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif,” paparnya. 

Sebab, kata Fahri, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif. 

Sehingga berdasarkan konstruksi hukum yang telah ditetapkan oleh MK, menurut hemat Fahri, keterlibatan TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil semisal penjabat kepala daerah adalah tidak terdapat landasan konstitusional yang memadai.

“Sehingga sangat berkonsekwensi terhadap segala produk kebijakan yang dilahirkan oleh Penjabat kepala daerah dari prajurit aktif TNI itu potensial bermasalah secara hukum dan rawan akan di gugat ke pengadilan," terangnya.

Baca juga: Legislator PAN Kritik Penunjukan Perwira Aktif sebagai Penjabat Bupati Seram Barat

"Jika ini yang terjadi akan menjadi sangat serius terhadap kerja kerja kepemerintahannya, sebab terbentur dengan aspek legalitas jabatannya, dapat dibayangkan jika segala kebijakan dan keputusan strategis dan berdampak luas oleh penjabat itu, sepanjang yang terkait dengan aspek keuangan, organisasi dan personil ASN dipersoalkan dipengadilan, maka tentunya hal ini akan sangat "complicated" secara ketatanegaraan, dan mempengaruhi fungsi pemerintahan didaerah itu," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved