OTT KPK di Kabupaten Bogor
Soal Predikat WTP dari BPK, Pengamat: Jadi Jualan Politik hingga Ajang Pencitraan
Pengamat menilai pemberian predikat WTP dari BPK merupakan jualan politik hingga ajang pencitraan dari kepala daerah, instansi, atau lembaga.
TRIBUNNEWS.COM - Kasus dugaan penyuapan oleh Bupati Bogor, Ade Yasin kepada empat auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) demi mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) memberikan pandangan terkait status tersebut.
Dalam kasus yang menjerat Ade, dirinya beserta tiga anak buahnya menyuap auditor BPK agar memperoleh predikat WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2021.
Berdasarkan keterangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, ia mengatakan auditor dari BPK Jawa Barat ini ditugaskan untuk melakukan audit berbagai pelaksanaan proyek di antaranya adalah di Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
Selanjutnya, salah satu auditor BPK Jawa Barat berinisial ATM mengkondisikan susunan tim sesuai dengan permintaan Kasubdit Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor berinisial IA agar nantinya objek audit hanya untuk SKPD tertentu.
“Jadi ada SKPD yang tidak dilakukan pemeriksaan, dibatalkan,” ujar Firli, Kamis (28/4/2022) dikutip dari Tribunnews.
Baca juga: Kalapas Sukamiskin Ungkap Reaksi Rachmat Yasin dengan Kabar Sang Adik Ade Yasin, Kena OTT KPK
Baca juga: Bupati Ade Yasin Tersangka dan Ditahan KPK, Pendopo di Cibinong Sepi, Pintu Gerbang Tertutup Rapat
Hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Ade Yasin dan jajarannya serta auditor BPK ini menimbulkan beragam komentar.
Komentar yang dilontarkan terkait alasan Ade Yasin dan jajarannya yang diduga melakukan suap agar Kabupaten Bogor memperoleh predikat WTP.
Dinilai Jadi Jualan Politik

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai predikat WTP yang dikejar oleh banyak kepala daerah adalah hal yang wajar.
Hal tersebut, kata Adi, lantaran dapat memberikan citra yang baik sehingga dapat dijual untuk memperoleh simpati masyarakat.
“WTP itu positif bagi kepala daerah karena dinilai kinerjanya baik dan bersih dari segi laporan keuangan. Wajar kalau kepala daerah berlomba-lomba pamer WTP dari BPK karena bisa buat jualan politik tentu untuk mendapat simpati rakyat,” ujarnya, Kamis (28/4/2022) dikutip dari Kompas.com.
Berkaca dari kasus Ade Yasin, Adi menyebut predikat WTP semakin meningkatkan kecurigaan publik yang terbukti juga dapat diperjualbelikan dengan cara penyuapan terhadap auditor.
“Kasus Ade Yasin ini jadi bukti sahih bahwa WTP hanya pengakuan formalitas dan sering berbeda dengan realitasnya,” tegas Adi.
Baca juga: Pengamat Nilai Kasus Suap Ade Yasin Jadi Kasus Dinasti Politik Terburuk di Indonesia
Ia juga mengingatkan kepada kasus Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang tetap terseret kasus korupsi meski menjadi langganan memperoleh predikat WTP.
“Sudah banyak contoh kepala daerah yang kinerjanya terlihat buruk tapi dapat WTP. Ini harus jadi eprhatian serius KPK soal praktik sogok-menyogok oknum auditor negara,” tuturnya.
Tak Jamin Kepala Daerah Bersih

Senada dengan Adi, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin juga mengungkapkan predikat WTP tidak dapat menjadi bukti sahih bahwa kepala daerah yang bersangkutan menjadi sosok yang bersih dari korupsi.
Pernyataan Ujang ini berkaca dari kasus dugaan penyuapan Ade terhadap auditor BPK.
“Tidak dijamin WTP itu bersih karena banyak kepala daerah dapat WTP dari hasil lobi-lobi dan suap, seperti yang terjadi pada Bupati Bogor,” ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Predikat WTP ini, kata Ujang, menjadi penting agar tidak adanya kecurigaan terkait laporan keuangan suatu daerah.
Baca juga: Ade Yasin: Saya Dipaksa Bertanggung Jawab Atas Perbuatan Anak Buah Saya, Saya Harus Siap
Pasalnya, jika laporan keuangan pemerintah daerah tidak berpredikat WTP, maka patut diduga adanya kasus korupsi di dalamnya.
“Masyarakat thunya apa yang di atas kertas, bukan pada hal di belakang layar. Di atas kertas WTP, bagi rakyat bupatinya tak korupsi. Padahal, di belakang layarnya belum tentu,” tuturnya.
Jadi Ajang Pencitraan
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha menyebut terdapat beberapa alasan adanya jual beli predikat WTP dari BPK.
Pertama, Egi menyebut adanya gengsi agar penilaian publik terhadap instansi atau daerah yang dipimpinnya dianggap bersih dan bebas korupsi.
“Jual beli predikat karena itu condong dilakukan untuk menjaga gengsi atau membohongi publik, bahwa institusi yang dipimpinnya bersih dari korupsi.”
“Padahal belum tentu demikian. Jangan sampai publik keliru memahami itu,” ujar Egi dikutip dari Kompas.com.
Kedua, Egi mengkritik BPK yang disebutnya gagal dalam menjalankan instrumen pengawasan internal terhadap audiotrnya.
Baca juga: Ade Yasin Bantah Suap Pegawai BPK, Sebut Inisiatif Anak Buahnya Bawa Bencana
Disisi lain, dirinya mengatakan predikat WTP tidak menjadi patokan pemerintahan atau institusi dinyatakan bebas dari korupsi.
Namun, lanjutnya, penekanan harus disorot adalah kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku serta laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Pelaporan Keuangan Negara (SPKN).
“Kasus-kasus korupsi bahkan kerap terjadi di daerah yagn menadapat predikat WTP,” tuturnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Aryo Putranto Saptohutomo/Ardito Ramadhan)
Artikel lain terkait OTT KPK di Kabupaten Bogor