RUU TPKS
Dorong RUU TPKS Berpihak pada Korban, PSI Sampaikan Sejumlah Usul dan Saran
LBH PSI, Direktorat Perempuan & Anak DPP PSI, serta Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak (KSPPA) DPP PSI terlibat dalam proses ini
Penulis:
Wahyu Aji
Editor:
Hasanudin Aco
Meski Pasal 26 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur mekanisme untuk itu, namun PSI mendorong RUU TPKS mengatur lebih spesifik untuk memastikan perlindungan terhadap korban secara lebih cepat dan optimal.
“Negara juga harus hadir untuk memberdayakan ekonomi korban, sebagai imbas dari perlawanan balik korban. Solusi ini harus ada dalam RUU TPKS untuk memutus ikatan relasi kuasa yang sering dimanfaatkan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual. Pendanaannya dapat dikelola dari victim trust fund. Agar korban berani bersuara dan melaporkan perbuatan pelaku, tanpa ketakutan akan masa depan ekonomi yang suram,” kata Imelda.
Selanjutnya, restitusi sebagai pidana wajib dan negara memberikan ganti kerugian yang adil, layak, dan komprehensif dalam hal pelaku dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi.
Restitusi seharusnya wajib dibayarkan dan bukan hanya sebagai pidana tambahan.
“Pidana penjara pengganti 1 (satu) tahun dalam hal pelaku tidak mampu membayar restitusi dalam Pasal 23 ayat (11) RUU TPKS belum memberikan rasa keadilan karena tidak dapat menggantikan kehilangan hak-hak korban khususnya korban anak untuk mendapatkan biaya pendidikan maupun penghidupannya agar terpenuhi kebutuhan fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya. Karena itu, RUU TPKS agar mengatur kompensasi atau ganti kerugian dari negara yang layak dalam hal pelaku tindak pidana kekerasan seksual dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi kepada korban atau keluarga korban, yang pendanaannya dapat dikelola dari victim trust fund,” kata Imelda.
Ketiga, terkait sanksi pidana.
PSI memgusulkan, pidana denda atas pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) RUU TPKS agar diperberat menjadi maksimal Rp 750 juta.
Sanksi pidana denda dalam RUU TPKS minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 75 juta sedangkan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE diancam dengan sanksi pidana denda maksimal Rp 750 juta padahal pelecehan seksual dapat menimbulkan trauma lebih di atas penghinaan.
PSI juga menyarankan pidana tambahan dalam Pasal 11 ayat (1) RUU TPKS. Yaitu, ditambahkan dengan kastrasi/kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Faktor pemberat sanksi pidana dalam Pasal 10 RUU TPKS agar ditambahkan terhadap: (i) dilakukan oleh keluarga; (ii) dilakukan oleh orang yang memiliki relasi kuasa terhadap korban; (iii) mengakibatkan korban cacat berat fungsi reproduksinya; (iv) mengakibatkan korban meninggal dunia; (v) pemaksaan pelacuran; (vi) pemaksaan aborsi oleh pelaku perkosaan; (vii) upaya menghalang-halangi proses hukum penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan,” ujar Imelda.
Terkait akses hukum, agar adil dan memastikan perlindungan terhadap korban serta membuka akses terhadap hukum seluas-luasnya, maka pengecualian terhadap kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tentang penanganan korban yang berperspektif korban dan hak asasi manusia maupun telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Pasal 16 RUU TPKS, harusnya berlaku juga pengecualiannya bagi pendamping hukum yaitu advokat dan paralegal, yang diwajibkan dalam Pasal 20 ayat (3) huruf (f) dan ayat (4) RUU TPKS.
“Dengan demikian dimungkinkan bagi advokat maupun paralegal yang berpengalaman menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk memberikan pendampingan terhadap korban,” kata Imelda.