Jokowi, Firli Bahuri, dan Kepala BKN Tak Hadiri Sidang Terkait TWK KPK di PTUN Jakarta
Agenda sidang hari ini, Kamis (17/3/2022) yaitu pemeriksaan persiapan sekaligus perbaikan materi gugatan atas masukan hakim.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perwakilan penggugat 49 eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menghadiri sidang gugatan administratif terkait peralihan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Agenda sidang hari ini, Kamis (17/3/2022) yaitu pemeriksaan persiapan sekaligus perbaikan materi gugatan atas masukan hakim.
Perwakilan penggugat hadir bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, LBH Muhammadiyah, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Baca juga: Pimpinan KPK: Ingin Kaya Punya Rumah dan Mobil Mewah, Jangan Jadi ASN
Pihak tergugat dalam perkara ini adalah Presiden RI Joko Widodo sebagai tergugat I, Pimpinan KPK Firli Bahuri cs sebagai tergugat II, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai tergugat III.
Namun, disampaikan Sekretaris Jenderal Indonesia Memanggil 57+ Institute, Lakso Adindito, para tergugat tak menghadiri persidangan tersebut.
IM57+ Institute merupakan wadah yang didirikan oleh para mantan pegawai KPK pecatan Firli Bahuri cs melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Sangat disayangkan bahwa hari ini para pihak tergugat tidak hadir di persidangan," kata Lakso lewat keterangan tertulis, Kamis (17/3/2022).
Lakso mengatakan, hal yang menarik dari gugatan administratif 49 eks pegawai KPK adalah kasus ini membawa diskusi yang membawa dampak pada hubungan antarlembaga negara penunjang (auxiliry state: Ombudsman, Komnas HAM, KIP, dll) di Indonesia.
Bagaimana sebuah rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga negara penunjang dapat mengikat di mata hukum dan dapat dijalankan dalam ranah ketatanegaraan Indonesia.
Kata Lakso, hasil rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga negara penunjang tidak bisa begitu saja tidak dijalankan oleh pejabat publik pemerintah dan khususnya Presiden RI sebagai atasan tertinggi pemerintah.
"Karena hal ini berdampak pada tata kelola pemerintahan serta kebijakan yang berlaku," katanya.
Lakso menerangkan, objek gugatan 49 eks pegawai KPK adalah perbuatan melawan hukum atas tidak dilaksanakannya rekomendasi Komnas HAM pada 16 Agustus 2021 dan rekomendasi Ombudsman RI tanggal 15 September 2021 oleh para tergugat.
Perbuatan tersebut bertentangan dengan ayat (1) Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Pasal 89 ayat (4) huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Pimpinan KPK telah melanggar amanat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 Jo Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pemberantasan Korupsi, bahwa pegawai KPK beralih status dari pegawai Komisi menjadi pegawai ASN," terangnya.
"Dalam pelaksanaannya peralihan tersebut menggunakan mekanisme seleksi melalui TWK yang kemudian hari memberhentikan 58 pegawai KPK dengan alasan tidak memenuhi syarat (TMS)," Lakso menambahkan.
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Ombudsman RI, penyelenggaraan TWK ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi.
Disamping itu, hasil penyelidikan Komnas HAM juga menyebutkan bahwa penyelenggaraan TWK ditemukan 11 pelanggaran HAM.
Lakso mengatakan, hasil penyelidikan kedua lembaga tersebut tidak dijalankan baik oleh pimpinan KPK maupun Kepala BKN sebagai terlapor.
Sehingga Ombudman RI dan Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi yang disampaikan kepada atasan terlapor, yaitu Presiden RI.
"Hal yang disayangkan, rekomendasi kedua lembaga tersebut juga tidak dijalankan oleh atasan terlapor hingga hari ini," kata dia.
Menurut Lakso, gugatan yang dilakukan oleh 49 eks pegawai KPK bukan sekadar perjuangan atas hak-hak 49 orang tersebut. Melainkan bagian dari perlawanan atas pelemahan KPK.
"Sudah seharusnya KPK menjadi contoh bagi praktik birokrasi berintegritas dan profesional. Sangat disayangkan bahwa dalam proses peralihan status pegawai di KPK justru diwarnai berbagai insiden yang bertentangan dengan nilai-nilai antikorupsi," ujarnya.
Dalam petitum yang dikutip Tribunnews.com, Rabu (2/3/2022), para mantan pegawai KPK meminta majelis hakim untuk mengabulkan permohonan para penggugat untuk seluruhnya.
Pertama, menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan oleh Para Tergugat dengan tidak melakukan rekomendasi Ombudsman RI Nomor: 0001/RM.03.01/0593.2021/IX/2021 tanggal 15 September 2021 tentang Maladministrasi Pada Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara adalah perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Kedua, menyatakan tindakan pemerintah dengan tidak melakukan Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI tentang Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), adalah perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Ketiga, menghukum para tergugat untuk melaksanakan Rekomendasi Ombudsman RI Nomor: 0001/RM.03.01/0593.2021/IX/2021 tanggal 15 September 2021 tentang Maladministrasi Pada Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI tentang Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Keempat, menghukum para tergugat untuk merehabilitasi nama baik para penggugat.
Kelima, menghukum pimpinan KPK untuk membayar semua kerugian Para Penggugat sejak pemberhentian Para Penggugat dari pegawai KPK sampai dengan putusan ini berkekuatan hukum tetap.