Senin, 6 Oktober 2025

Pemilu 2024

Yusril Sebut Wacana Penundaan Pemilu 2024 Berimplikasi kepada Legalitas dan Legitimasi Kekuasaan

Keabsahan penundaan Pemilu sangat penting agar negara tidak carut marut karena penyelenggaranya tidak memiliki legitimasi.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
Grafis Tribunnews.com/Ananda Bayu S
Yusril Ihza Mahendra 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan penundaan pemilu tidak hanya bisa dilakukan hanya berdasarkan usulan ketua umum Parpol saja. Penundaan Pemilu berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan.

"Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (27/2/2022).

Keabsahan penundaan Pemilu sangat penting agar negara tidak carut marut karena penyelenggaranya tidak memiliki legitimasi.

Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara.

Pertama yakni Amandemen UUD 45; kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan ketiga menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," katanya.

Yusril mengatakan, dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45.

Amandemen sendiri kata Yusril sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR.

Menurut Yusril amandemen yang dilakukan bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah. Tetapi, menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum.

Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.

Baca juga: Wasekjen PPP Pertanyakan Motif Para Pengusul Penundaan Pemilu 2024

"Ayat (2), semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum," tuturnya.

Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, menurut Yusril maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.

Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru.

"Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru," tuturnya.

Cara atau jalan kedua selain amandemen UUD 1945 yakni dengan mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Yusril menjelaskan, dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

Ia menambahkan, revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah.

Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" katanya.

Yusril menjelaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan oleh Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro, karena tidak cukup alasan untuk menyatakan adanya faktor itu.

Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI.

"Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959," tambahnya.

Yusril bercerita pengalamannya saat menjadi menteri pada era Gus dur.

Menurutnya Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.

Sebelum niat itu dilaksanakan, ia sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001.

Ia mengingatkan Presiden dalam posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang berkewajiban memberikan nasehat hukum kepada Presiden.

Dalam kesempatan itu, Yusril mengatakan bahwa rencana Presiden mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.

Apabila tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk itu tidak ada.

Lagi pula, dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer.

Sementara Yusril mengaku melihat TNI kala itu enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut.

"Mengingat pada waktu itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan diri saja. Hal itu baik bagi Presiden pribadi, dan baik juga bagi bangsa dan negara daripada Presiden dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," kata Yusril.

Hanya saja tausiyah tersebut kata Yusril disambut Presiden dengan kemarahan.

Esok harinya atau tepatnya tanggal 7 Februari 2001, ia diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharudin Lopa.

Menurutnya Lopa bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II di MPR. Tugas tersebut sebelumnya ia tolak.

Dekrit akhirnya diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana.

"Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya," katanya.

Baca juga: Wacana Menunda Pemilu, AHY: Suara Rakyat yang Mana? Jangan Permainkan Suara Rakyat

"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu?" kata Yusril.

Ia menduga, Presiden Joko Widodo tidak akan melakukannya. Karena kata Yusril risiko politik mengeluarkan dekrit terlalu besar.

Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi.

"Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri," katanya.

Presiden Joko Widodo sendiri kata Yusril, sempat mengatakan kepadanya tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode.

Alasannya langkah itu tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-reformasi.

"Apakah apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu adalah sesuatu yang keluar dari hati nuraninya ataukah hanya sekadar ucapan basa-basi saja, saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya," kata Yusril.

Selain amandemen dan juga dekrit, jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau “constitutional convention”.

Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam Pasal 22E UUD 45 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.

Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.

Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.

"Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik Pemilu nya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," katanya.

Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945.

Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah “kolaborator Jepang” yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda.

Dengan Maklumat Nomor X itu sistem presidensial berubah menjadi parlementer.

Soekarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir.

KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab.

Perubahan dalam praktik itu, menurut Prof Dr Ismail Suny terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang.

Akibat situasi perang kemerdekaan, Pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan.

UUD 45 yang menurut ketentuan dua ayat dalam Aturan Tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949.

Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan.

Teks UUD 45 nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut. Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah.

"Seperti telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 45 itu sah atau tidak," katanya.

Sementara itu, kata Yusril sekarang zaman sudah berubah.

Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949.

Ahli-ahli tambah banyak. Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.

Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada “penyelewengan” terhadap UUD 45.

"Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved