Senin, 6 Oktober 2025

Sejarah Hari Ini: Peristiwa Malari tentang Tuntutan Mahasiwa yang Tolak Masuknya Investasi Asing

Berikut penjelasan sejarah hari ini yaitu adanya peristiwa Malari yang terjadi karena tuntutan mahasiswa yang menolak investasi asing.

Editor: Miftah
Kompas.com
Aksi massa Malari yang berada di sepanjang Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. 

TRIBUNNEWS.COM - Hari ini tepatnya 15 Januari 1974 yang lalu terjadilah peristiwa yang dikenal dengan Malari.

Dikutip dari Tribunnewswiki, peristiwa ini merupakan unjuk rasa di masa Orde Baru yang menewaskan belasan orang.

Saat itu dalam salah satu tuntutannya, mahasiswa berunjuk rasa untuk menolak masuknya investasi asing.

Ribuan mahasiswa berunjuk rasa dan berasal dari berbagai kampus dan dipimpin oleh Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Hariman Siregar.

Baca juga: Sejarah Gempa Besar di Selat Sunda-Banten, Pernah Terjadi Tsunami Setinggi 30 Meter

Baca juga: Sejarah Majalengka di Relief Sepanjang 30 Meter, dari Masa Kerajaan Talaga hingga Zaman Kolonial

Investasi asing dinilai berpotensi membuka celah korupsi di Pemerintah Indonesia dan berdampak buruk bagi lingkungan serta Hak Asasi Manusia (HAM).

Latar Belakang

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia saat itu telah memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Walaupun Indonesia akhirnya mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi berakibat kerusakan alam dan pelanggaran HAM.

Karena adanya hal tersebut munculah aksi massa pada tahun 1974 dan mengeluarkan tuntutan yang dikenal dengan Tritura Baru 1974.

Isi dari Tritura tersebut adalah pemerintah membubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), menurunkan harga bahan pokok, dan mengganyang korupsi.

Kemudian dikarenakan adanya UU No.1 tahun 1967 tersebut maka investasi asing mudah masuk dan membuat produk-produk khususnya dari Jepang membanjiri pasar Indonesia.

Peristiwa Malari ini pun juga bertepatan dengan kehardiran Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka ke Jakarta juga untuk kepentingan investasi Jepang di Indonesia.

Situasi Aksi Malari

Aksi Massa Peristiwa Malari
Aksi massa yang berkumpul di kawasan Monas dan Istana Kepresidenan pada 15 Januari 1974.

Aksi yang dikenal dengan Malari ini awalnya berpusat di kampus Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.

Ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar melakukan long march dari kompleks UI di Salemba, Jakarta Pusat.

Di kampus Trisakti, massa sempat membakar boneka Perdana Menteri Jepang yang disimbolkan saat itu sebagai penjajah ekonomi.

Selanjutnya massa pun dibagi dua yaitu massa pertama menuju Istana Kepresidenan dan massa kedua ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana Perdana Menteri Tanaka mendarat dari Jepang.

Saat akan menuju lokasi tujuan, massa pun terlibat bentrok dengan aparat.

Bentrok pun tak dapat dielakkan dan membuat Jakarta menjadi mencekam.

Selain bentrok massa juga merusak barang seperti mobil dan motor buatan Jepang.

Ditambah massa juga membakar habis toko-toko yang dimiliki oleh pengusaha Jepang.

Akhir Malari

Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tanaka pun tetap berjalan di Istana Kepresidenan walaupun massa melakukan aksi besar-besaran.

Akibat dari aksi ini, 11 orang dilaporkan meninggal dunia, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap aparat.

Ditambah terdapat pula 114 bangunan rusak, 187 motor dan 807 mobil terbakar.

Lalu toko-toko dan juga perkantoran di Pasar Senen dan Harmoni juga menjadi incaran massa dengan cara dibakar dan dijarah isinya.

Tercatat terdapat 160 kilogram emas yang hilang di toko perhiasan.

Setelah aksi selesai, Hariman Siregar yang merupakan pimpinan aksi menjalani proses persidangan selama empat bulan.

Hariman pun divonis enam tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinilai melakukan tindakan subversi.

Namun di lain sisi, salah satu tuntutan mahasiswa pun dikabulkan oleh Presiden Soeharto yaitu membubarkan Asapri.

Dikutip dari Kompas.com, Soeharto juga menilai peristiwa Malari tersebut mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan tamu negara.

Hal tersebut diungkapkan oleh sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam.

“Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah,” ucap Asvi.

Asvi pun juga menilai sejak peristiwa Malari ini, pemerintahan Soeharto lebih bersifat represif untuk mengawetkan kekuasaannya.

“Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salahs atu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis,” pungkasnya.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Tribunnewswiki/Bangkit N)(Kompas.com/Jawahir Gustav Rizal)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved