MK Sebut Dalil Pertentangan Norma Pasal Blokir Internet dengan Prinsip Negara Hukum Tidak Beralasan
Sebelumnya MK menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet dalam sidang pengucapan putusan di MK pada Rabu (27/10/2021).
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh membacakan sebagian pertimbangan Mahkamah menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet atau pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (27/10/2021).
Satu diantara pertimbangan tersebut adalah dalil para Pemohon bahwa norma pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.
Daniel membacakan bahwa para pemohon dalam mendalilkan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam norma pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan pasal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Hal itu, lanjut dia, karena menurut para Pemohon tindakan pemerintah tidak sah atau sewenang-wenang sebab tidak didasari oleh aturan yang jelas serta didahului dengan penerbitan keputusan tata usaha negara yang tertulis.
Baca juga: Putusan MK Atas Uji Materil Pasal Blokir Internet Diwarnai Dissenting Opinion 2 Hakim Konstitusi
Hal tersebut, lanjut Daniel, termasuk di dalamnya tidak terdapat ruang pengaduan untuk pengujian serta pemulihan bagi pihak-pihak yang dirugikan secara langsung atas pemutusan atau pemblokiran atau penapisan konten.
Terhadap dalil tersebut, kata Daniel, untuk memahami secara komprehensif ketentuan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE, menurut Mahkamah, tidak dapat dilepaskan dari ketentuan pasal 40 ayat (6) UU tersebut.
Sebab, kata dia, ihwal teknis mengenai pemutusan akses infomrasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UU tersebut yaitu PP 71/2019.
Ia mengatakan, dalam substansi PP telah diatur lebih lanjut mekanisme pemutusan akses yang merupakan bentuk penjatuhan sanksi administratif sebagaimana termuat pada Pasal 100 PP 71/2019.
Pemutusan akses tersebut, kata dia, merupakan wujud dari peran pemerintah dalam melakukan pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi elktronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, lanjut dia, PP 71/2019 telah memberikan batasan kategori dan klasifikasi mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 (tentang ITE).
Sedangkan ihwal teknis mengenai tata cara normalisasi terhadap pemutusan akses internet yang bermuatan konten ilegal, kata dia, diatur lebih lanjut sesuai dengan amanat PP 71/2019 dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020).
Dalam substansi Permenkominfo , kata Daniel, telah diatur lebih lanjut mekanisme pemulihan atau normalisasi yang di dalamnya memuat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola situs internet (terlapor) yang dikenai sanksi pemutusan akses sebagaimana termuat pada pasal 20 Permenkominfo 5/2020.
Artinya, lanjut dia, Pemerintah telah membuka ruang untuk pengujian dan pemulihan normalisasi serta telah memiliki standard operasional prosedur baik terhadap pelaporan konten negatif maupun normalisasi situs yang bermuatan konten nrgatif.
Berkenaan dengan permohonan tersebut, kata dia, pemerintah telah menjalankan kewenangannya sebagaimana ketentuan pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 tentang ITE.
Pemerintah, lanjut dia, telah pula menyediakan dasar hukum serta produk hukum dalam tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya.
Dengan demikian, kata Daniel, apa yang menjadi kekhawatiran para Pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak akan terjadi.
Hal itu, lanjut dia, karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten bermuatan melanggar hukum sebagaimana yang dicontohkan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut dalam Penjelasan Pasal 96 huruf a PP 71/2019.
Oleh karena itu, kata dia, dalam konteks ini negara diwajibkan hadir untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan karena adanya penyalahgunaan muatan dalam menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Selain itu, kata dia, terkait dengan adanya pemutusan akses telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkannya sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
"Oleh karenanya dalil para Pemohon mengenai pertentangan norma Pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 (tentang ITE) dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Daniel sebagaimana ditayangkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (27/10/2021).
Sebelumnya MK menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet dalam sidang pengucapan putusan di MK pada Rabu (27/10/2021).
Dalam konklusi, Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan tiga hal.
Pertama, Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut.
Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
Ketiga, Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum.
"Amar Putusan. Mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar sebagaimana ditayangkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (27/10/2021).
Amar putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020.
Putusan tersebut merupakan putusan terhadap perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Permohonan tersebut diajukan oleh Pemohon I yakni Arnoldus Belau dan Pemohon II yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam persidangan dibacakan oleh Hakim Konstitusi bahwa para pemohon mendalilkan dalam Pokok Permohonan bahwa pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang 19/2016 tentang ITE bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.
Para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Hal tersebut sepanjang tidak dimaknai: "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2(b), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum".
Dalam sidang disebutkan bahwa para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan P1 sampai P-29.
Para Pemohon juga telah mengajukan tiga orang ahli yang menyampaikan keterangan yakni Herlambang P Wiratraman, Oce Madril, dan Titik Puji Rahayu.
Para Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi yakni Asep Komarudin dan Victor Claus Mambor yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah di persidangan.