Jumat, 3 Oktober 2025

Mengenal Upacara Ngaben, Berikut Asal-usul, Tujuan dan Jenisnya

Ngaben merupakan prosesi upacara pembakaran jenazah atau kremasi. Berikut asal-usul Upacara Ngaben, tujuan dan jenisnya.

Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi Upacara Ngaben di Bali - Ngaben merupakan prosesi pembakaran jenazah atau kremasi. Berikut tujuan dan jenisnya. 

TRIBUNNEWS.COM - Simak penjelasan mengenai Upacara Ngaben dalam artikel ini.

Ngaben merupakan prosesi upacara pembakaran jenazah atau kremasi.

Upacara Ngaben dilakukan oleh umat Hindu di Bali.

Orang Bali percaya, Ngaben dapat menyucikan roh anggota keluarga yang sudah meninggal dunia menuju ke tempat peristirahatan terakhir.

Baca juga: Mengenal Pencak Silat, Seni Bela Diri Warisan Budaya asal Indonesia yang Diakui UNESCO

Baca juga: Setahun Lebih Terhenti, Mulai Gelar Upacara Ngaben di Bali dengan Protokol Kesehatan Ketat

Asal-usul Upacara Ngaben

Dikutip dari Indonesia Kaya, menurut Nyoman Singgin Wikarman, kata “Ngaben” berasal dari kata “beya” yang artinya bekal.

Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata “lebu” yang berarti prathiwi atau tanah (debu).

Untuk membuat tubuh manusia meninggal dunia menjadi tanah, salah satunya dengan dibakar.

Dalam ajaran Hindu, selain dipercaya sebagai dewa pencipta, Dewa Brahma memiliki wujud sebagai Dewa Api.

Jadi upacara Ngaben adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa kembali ke Sang Pencipta.

Api yang membakar dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Brahma.

Api akan membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meninggal dunia.

Upacara Ngaben yang digelar dengan penerapan protokol kesehatan ketat di area Pantai Matahari Terbit, Sanur, Bali pada Jumat (8/10/2021).
Upacara Ngaben yang digelar dengan penerapan protokol kesehatan ketat di area Pantai Matahari Terbit, Sanur, Bali pada Jumat (8/10/2021). (Foto: (Dok. Kementerian Kesehatan))

Orang Hindu percaya bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan, yakni raga sarira, suksma sarira, dan antahkarana sarira.

Raga sarira adalah badan kasar atau tubuh fisik manusia.

Suksma sarira adalah badan astral berupa pikiran, perasaaan, keinginan, dan nafsu.

Sedangkan antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.

Ketika manusia meninggal, badan tidak dapat difungsikan lagi.

Sementara atma (jiwa/roh) yang sudah terlalu lama dalam tubuh dan dikungkung suksma sarira harus segera meninggalkan badan, karena jika terlalu lama, atma akan menderita.

Manusia yang telah meninggal dunia perlu diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yakni panca mahabhuta: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara), dan akasa (ruang).

“Proses inilah yang disebut Ngaben,” tulis I Nyoman Singgin Wikarman.

Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil.

Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah tanpa upacara yang patut.

Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia.

Maka, perlu diadakan upacara Ngaben bhuta cuwil.

Pelaksanaan Upacara Ngaben

Dalam upacara Ngaben, seluruh penghuni banjar (setingkat rukun warga) harus membantu dalam persiapan.

Banyak persembahan yang disiapkan dan berbagai keperluan arak-arakan yang dibuat.

Dua hal penting yang harus dibuat adalah badé dan patulangan.

Badé ialah menara mirip pagoda dengan jumlah ganjil untuk mengusung jenazah.

Patulangan merupakan sarkofagus dengan bentuk hewan atau makhluk mitologi tempat jenazah nantinya dikremasi.

Badé dan patulangan memiliki ukuran dan bentuk beragam yang menunjukan status sosial almarhum.

Bahkan sejak tahun 2000-an muncul fenomena badé beroda.

Yakni badé yang dipasangi roda agar bisa didorong.

Badé beroda memungkinkan prosesi Ngaben menjadi lebih sederhana tanpa perlu banyak tenaga dan kelengkapan lain yang menelan banyak biaya.

Upacara Ngaben akan dimulai dengan arak-arakan.

Masing-masing keluarga membawa foto mendiang atau jasad yang akan diaben.

Bunyi gamelan Bali ikut mengiringi rombongan sampai ke lokasi Ngaben.

Arak-arakan menuju lokasi Ngaben massal di Bali.
Arak-arakan menuju lokasi Ngaben massal di Bali.

Setelah jasad diaben atau dibakar, sisa abu dari pembakaran dimasukkan ke dalam buah kelapa gading untuk dilarung ke laut atau sungai yang dianggap suci.

Bagi mereka yang belum memiliki biaya, jenazah biasanya dikuburkan terlebih dahulu.

Ngaben bisa dilakukan bertahun-tahun kemudian setelah keluarga almarhum memiliki cukup dana.

Upacara Ngaben massal atau kolektif juga bisa diadakan.

Pihak keluarga dapat melaksanakan ritual dengan membayar sejumlah uang atau bahkan gratis jika memang benar-benar tidak mampu.

Meski demikian, Ngaben massal tetap dilakukan tanpa menghilangkan esensi dari tradisi Ngaben itu sendiri.

Tujuan upacara Ngaben

Tujuan dari upacara Ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam pitra.

Dikutip dari kesrasetda.bulelengkab.go.id, landasan filosofis Ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa.

Sedangkan secara khusus Ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya.

Upacara Ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta.

Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya ( lontar yama purwana tattwa).

Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas.

Jenis Upacara Ngaben

1. Upacara Pengabenan Ngewangun

Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak.

Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran.

Ada dua jenis:

(1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.

(2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.

Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul).

Wedana berarti rupa atau wujud.

Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa-rupaan (simbolis manusia).

2. Upacara Ngabenan Pranawa

Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia.

Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9).

Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

1. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran

2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya

3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)

5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka

6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.

7. Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu

8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.

9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.

Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

1. Sawa Pranawa: disertai jenasah atau watang matah

2. Kusa Pranawa: dengan watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.

3. Toya Pranawa: sama dengan Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh-eteh pengentas. Juga memakai Pengaskaran.

4. Gni Pranawa: seperti pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal.

Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut.

Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.

5. Sapta Pranawa: upacara ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran.

Tapi tidak menggunakan Bale Paga pada waktu mengusung jenasah ke setra.

Hanya menggunakan pepaga/penusangan.

Juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

3. Pengabenan Swastha

Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran.

Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang.

Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut.

Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra.

Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama.

Pengabenan swastha terdiri dua jenis:

a) Pengabenan Swastha Geni

Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenazah.

Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.

b) Pengabenan Swastha Bambang

Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah.

Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”.

Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur.

Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti Ngaben biasa.

Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.

3. Pengabenan Kerthi Parwa.

Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama.

Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang.

Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja.

Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.

4. Pengabenan Ngelanus.

Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan.

Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis pengabenan ngelanus yaitu:

a. Ngelanus Tandang Mantri.

Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari.

Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”.

Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.

b. Ngelanus Tumandang Mantri.

Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka.

Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

(Tribunnews.com/Yurika)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved