Hasil Survei Setujui Jaksa Agung Dicopot, Pengamat Justru Nilai Kinerjanya Masih On The Track
Pengamat kebijakan publik menilai kinerja Jaksa Agung masih on the track meski mendapat survei tinggi untuk dicopot.
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah ikut menanggapi terkait hasil Survei KedaiKOPI, yang menyoroti kinerja Kejaksaan Agung.
Menurut Trubus, kinerja Kejaksaan Agung di bawah pimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin masih di atas rata-rata.
Hal itu terbukti dari sejumlah perkara berhasil diselesaikan.
Seperti, kasus yang menjerat eks pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS).
Baca juga: Profil ST Burhanuddin, Jaksa Agung yang Disetujui 81,7 Responden untuk Dicopot Menurut Survei
"Kalau menurut saya kinerjanya (Jaksa Agung) masih di atas rata-rara. Banyak kasus yang diselesaikan juga."
"Misalnya kasusnya Habib Rizieq, selesai. Banyak kasus selesai," ujar Trubus saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Jumat (13/8/2021).
Namun, Trubus menilai, kasus eks jaksa Pinangki Sirna Malasari sampai saat ini masih menjadi sorotan publik.

Menurutnya, Kejaksaan Agung harus menjelaskan ke publik, bahwa pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan untuk Pinangki merupakan kewenangan pengadilan.
"Harusnya dijelaskan ke publik seperti apa kondisinya."
"Publik ingin tahu, jadi Kejaksaan Agung jelaskan saja bahwa itu putusan peradilan. Bukan kewenangan Jaksa Agung," tutur Trubus.
Sejauh ini, ucap Trubus, kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin masih sesuai dalam koridor penegakkan hukum.
"Masih on the track. Dengan adanya survei dan surat ICW, itu momen membenahi persoalan internal birokrasi," kata Trubus.
Trubus mengatakan, Burhanuddin memiliki PR untuk menunjukkan kepemimpinan dalam pembenahan tata kelola yang memenuhi aspek transparan dan akuntabel.
"Keberanian pak Jaksa Agung kalau ada penyimpangan langsung ditindak. Kalau ada jaksa 'nakal' itu langsung saja mutasi, berhentikan. Jadi publik mendapat rasa trust," tutur Trubus.
Hasil Survei Tunjukkan Publik Setuju Jaksa Agung Dicopot
Sebelumnya diberitakan Tribunnews, Lembaga Survei KedaiKOPI melakukan survei opini publik tentang kinerja lembaga penuntutan di negeri ini, menyusul beberapa kasus penegakan hukum yang sempat mencuat dan menjadi viral akhir-akhir ini.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo mengatakan hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu.
"Sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar," ujar Kunto, dalam rilis survei, Kamis (12/8/2021).
Baca juga: Hasil Survei: 45,6 Persen Responden Menilai Pemerintah Kurang Baik Tangani Pandemi Covid-19
Responden menilai masih ada ketidakadilan hukum yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.
"Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia yang harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah," imbuh Kunto.
Selain itu, sebanyak 71,7% responden di seluruh Indonesia menganggap telah terjadi disparitas perlakuan hukum terhadap eks Jaksa Pinangki.
Terbukti dengan adanya tuntutan hukuman yang rendah serta tidak diajukannya kasasi atas putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan utama persepsi warga tentang disparitas hukum tersebut.

Founder KedaiKOPI yang juga analis komunikasi politik, Hendri Satrio angkat bicara pula terkait hal itu.
"Sebanyak 71,2% warga Indonesia menganggap tuntutan JPU terhadap Pinangki terlalu ringan, 61,6% tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, dan 65,6% menganggap ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki. Ini karena Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya," ujar Hendri.
Hendri menambahkan, di dalam survei ini mayoritas publik, atau 79,6%, memiliki persepsi bahwa telah ada ‘bantuan orang dalam’ sehingga Pinangki kemudian mendapatkan hukuman yang rendah.
Berangkat dari persepsi kasus Pinangki tersebut, masyarakat akhirnya menilai bahwa disparitas hukum atau pidana yang terjadi di tubuh institusi Kejaksaan di seluruh Provinsi di seluruh pelosok negeri ini ternyata sangat tinggi.
"Terdapat 59,5% responden yang menganggap disparitas hukum di Provinsi mereka (responden) sangat besar," tukas Hendri.
Alasan responden memberikan penilaian adanya disparitas hukum yang besar ini terlihat dari hasil survei mengungkapkan bahwa hukum masih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Baca juga: Soal Survei KedaiKOPI, Pengamat: Kinerja Jaksa Agung Masih di Atas Rata-rata
Efek lain dari skandal kasus Pinangki adalah kesetujuan masyarakat yang tinggi terhadap permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Jokowi untuk memberhentikan Jaksa Agung ST. Burhanudin.
Terdapat 81,7% responden yang setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan menurunnya performa kejaksaan (30,8%), tidak transparan dalam penanganan kasus (22,7%), dan dianggap terlibat dalam kasus Pinangki (9%).
Sedangkan 18,3% responden tidak setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan antara lain, belum terbukti terlibat (12%) dan kinerjanya masih baik (10,5%).
"Secara umum, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan ST. Burhanudin di Kejaksaan relatif rendah, hal tersebut terlihat dari 61,8% menyatakan tidak puas akan kinerjanya memimpin institusi Kejaksaan," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo.
"Dari hasil survei juga tampak bahwa 59,8% lapisan masyarakat menyangsikan komitmen Jaksa Agung ST. Burhanudin dalam melaksanakan reformasi birokrasi di Kejaksaan," imbuh Kunto.
(Tribunnews.com/Maliana/Dennis Destryawan)